Pages

Minggu, 26 Oktober 2014

Menuju Revolusi Ketiga Konsep Ekonomi ?

Davy Hendri

Dalam tataran wacana, perbincangan mengenai berbagai alternatif sistim ekonomi sebenarnya sudah lama mengemuka. Sejarah pemikiran ekonomipun mencatat hal itu sebagai sebuah kelaziman dalam pencarian kesempurnaan ilmu menuju hakikat kebenaran. Berbagai pemikir ekonomi telah muncul silih berganti dengan tawaran konsep yang kadangkala berbeda dan kadangkala seiring dengan konsep yang dibawa pendahulunya. Bila Adam Smith dikenal sebagai peletak dasar konsep ekonomi pasar bebas (kapitalis) dengan bukunya The Wealth of Nations, maka Karl Marx dikenal sebagai pencetus ide sosialisme dengan karyanya Das Capital, sebagai sebuah antitesis dari konsep Adam Smith.
 
Selama ini proses perbaikan terhadap berbagai kelemahan yang ditemukan pada konsep-konsep ekonomi yang terdahulu menuju kesempurnaan tersebut, dilakukan melalui proses dialektika materialisme. Sesuai dengan ciri dasarnya, ilmu ekonomi merupakan ilmu sosial. Sebuah cabang ilmu sosial selalu memiliki ruang untuk perubahan dan pengembangan yang dalam prosesnya tentu saja dapat mengkombinasikan berbagai aliran pemikiran yang berbeda.

Kritik terhadap Sistem

Oleh karenanya, walaupun sistem ekonomi modern (ekonomi kapitalis) telah diletakkan dasar-dasarnya sejak beberapa abad yang lalu, namun tidak ada jaminan bahwa sistem itu merupakan satu-satunya sistem ekonomi yang pernah ada dan sebagai alternatif yang terbaik. Berbagai pengulangan kegagalan dari sistem ekonomi dan keuangan konvensional ; yang kadangkala terlihat dalam krisis ekonomi di Amerika Latin, kadangkala muncul sebagai bentuk krisis ekonomi di Asia, yang pada akhirnya memicu krisis ekonomi global; sebenarnya lebih merupakan sebuah fenomena puncak gunung es dari berbagai kelemahan asumsi-asumsi dasar yang menyusun konsep ekonomi itu sendiri.

Kemiskinan Memicu Radikalisme?

Davy Hendri dan Nurmina 

“Poverty, or even poverty in the midst of plenty alone is not sufficient to induce high levels of crime. Only when their interaction with other interdependent social and cultural variables is considered, one can explain the association between crime and poverty”.

“Karena Miskin, Jadilah Radikal”. Begitulah Laporan Utama Tabloid Republika  DIALOG JUM’AT, edisi 17 Oktober 2003. Laporan utama itu menyampaikan hasil konferensi The Jakarta International Islamic Conference dengan tema “Strategi da’wah Menuju Ummatan Wasathan Dalam Menghadapi Radikalisme” yang diadakan pada tanggal 13 – 15 Oktober 2003  lalu. 

Konferensi itu ditujukan untuk mencari akar penyebab dari kekerasan (radikalisme) yang dituduhkan pada kalangan ummat Islam pada akhir-akhir ini.  Sebuah tuduhan yang mencuat dari tertangkapnya para pelaku yang diafiliasikan dengan gerakan Islam radikal dan terkait dengan terorisme global, dalam berbagai rangkaian aksi bom yang telah merenggut banyak jiwa di tanah air belakangan ini, mulai dari bom malam Natal, Legian Bali dan terakhir Marriot.  
 
Konferensi itu kemudian menyimpulkan bahwa  salah satu akar permasalahan radikalisme pada ummat islam adalah kemiskinan yang menjerat mereka. Fakta menunjukkan bahwa meski negara yang berpenduduk mayoritas Islam memiliki kekayaan alam hingga 80 % ternyata penguasaan ekonomi secara riil hanya 5 %. 
Dari pemahaman terhadap akar permasalahan itu kemudian direkomendasikan beberapa poin penting bagi strategi da’wah ke depan untuk mencitrakan Islam yang ramah dan penuh toleransi. Salah satu poin penting itu adalah perlunya upaya peningkatan kualitas pendidikan dan SDM ummat yang diimplemantasikan dalam bentuk kurikulum atau materi pengajaran Islam yang rahmatan lil alamiin.

Pasar Modal Syari'ah: Suatu Pengantar

Davy Hendri 
Disampaikan pada Seminar Sehari Pasar Modal yang diselenggarakan oleh BEM STIE Dharma Andalas bekerja sama dengan Pojok BEJ, Padang, 19 Juli 2003.

Pendahuluan

Pertumbuhan sistim keuangan syari’ah di Indonesia dewasa ini sangat menggembirakan. Sistem keuangan syari’ah, menyangkut mekanisme dan kelembagaan, sedang giat-giatnya melakukan ekspansi baik secara kuantitas maupun kualitas. Dari sisi kuantitas, fakta menunjukkan bahwa telah terjadi pertambahan jumlah lembaga/institusi yang sangat signifikan pada setiap sektor dalam sistim keuangan syari’ah tersebut. Umpamanya pertambahan jumlah lembaga perbankan, asuransi, reksadana dan lainnya, baik karena kehadiran pemain baru ataupun dari semakin eksisnya para pemain lama. 

Sementara itu dari sisi kualitas, boleh dikatakan bahwa prasyarat dari bangun sebuah sistem perekonomian syari’ah saat sekarang sudah semakin terlengkapi. Hal ini di mulai dari menjamurnya lembaga perbankan syari’ah sebagai disguissed blessing dari rontoknya bangun perbankan nasional. Pertumbuhan perbankan sebagai sektor strategis ini kemudian secara logis menarik gerbong-gerbong lainnya seperti asuransi syari’ah. Berita yang paling teranyar adalah peluncuran instrumen pasar modal syari’ah di lantai Bursa Efek.   
 
Nah, kemudian tentu timbul pertanyaan; Apa itu pasar modal syari’ah ?. Bagaimana sistem, pengelolaan dan karakteristik instrumennya ?. Terus siapa saja yang bisa berinvestasi dan mencari dana di sana ?. Untuk itu, tulisan sederhana ini mencoba menjawab berbagai pertanyaaan pokok tadi.  Sistematika penulisan akan dimulai dari paparan sisi pandang Islam terhadap pasar modal itu sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan kaidah yang harus ada di dalam pasar modal syari’ah serta seterusnya paparan berbagai karakteristik instrumen (produknya).

Etika Bisnis Islam

Baiklah, mari kita mulai pembicaraan kita tentang pasar modal syari’ah ini dari pemahaman mendasar tentang konsep bisnis dalam Islam.  Menurut Islam, aturan bisnis dengan segala  bentuknya pada dasarnya mengacu kepada asumsi bahwa manusia tercipta sebagai makhluk yang bebas bertindak (free will/free act) sehingga ia bebas membuat transaksi dan bentuk usaha apapun, yang penting halal. Karena pada dasarnya hukum asal suatu bisnis adalah  halal (al-ashlu fi al-mu’amalati al-ibadah). Jadi, usaha bisnis hanya akan menjadi terlarang jika dia mengandung salah satu unsur yang secara tegas terlarang di dalam syari’at. 

Reorientasi Segmen Pasar Bank Syari'ah

Davy Hendri  
Republika 7 Sept 2002

Pertumbuhan sistem perbankan syari'ah di Indonesia dewasa ini sangat menggembirakan. Di saat perbankan konvensional (bank berbasis bunga) sedang disibukkan oleh program rekapitalisasi, restrukturisasi maupun rasionalisasi, perbankan syari'ah justru menunjukan fenomena sebaliknya. Dunia perbankan syari'ah sedang sibuk-sibuknya melakukan ekspansi terlihat dengan pertambahan jumlah bank, baik karena kehadiran pemain baru ataupun dari semakin eksisnya para pemain lama.

Statistik Perbankan Syari'ah (BI, Juni 2002) memperlihatkan data bahwa jika sebelum tahun 1998 baru ada 1 unit bank komersial syari'ah yaitu Bank Muamalat Indonesia maka pada akhir Juli 2002 telah bertambah 7 unit pemain baru lagi dalam dunia perbankan syari'ah. Sementara itu dari sisi luas jangkauan ke masyarakat, jika pada tahun 1998 itu, BMI baru mempunyai 10 unit kantor cabang (KC), 1 unit kantor cabang pembantu (KCP) dan 19 unit kantor kas (KK) maka pada akhir Juli 2002 total seluruh perbankan syari'ah di Indonesia telah mempunyai 55 unit KC, 8 unit KCP dan 48 unit KK.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran bank syari'ah secara emosional keagamaan setidaknya telah memenuhi harapan bathiniah berupa rasa aman dalam bertranksasi dan melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan rambu-rambu syari'ah bagi ummat. Lebih jauh dari itu, di sisi lain, sebagai lembaga intermediasi keuangan, perbankan syari'ah sebagaimana juga perbankan yang berbasis sistem bunga uang, dituntut untuk juga memainkan peranan yang sangat vital dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa.

Kerawanan Pangan Nasional

Davy Hendri 
Republika, 16 Oktober 2002

Tanggal 16 Oktober, diperingati setiap tahun sebagai hari pangan dunia (World Food Day), yang didesain sebagai sebuah momen yang bertujuan untuk menggalang aksi memerangi kelaparan di seluruh dunia. WFD yang ke–22 tahun 2002 ini juga sekaligus memperingati ulang tahun FAO (Food and Agricultural Organization of the United Nations) yang ke-57. 

Dalam konteks kekinian, bagi Indonesia, momen WFD ini menjadi sangat penting artinya bila dikaitkan dengan isu ketahanan pangan. Berbagai peristiwa besar yang tidak menggembirakan telah terjadi di dunia pertanian (pangan) bangsa ini. Mulai dari mencuatnya kenaikan harga pangan domestik akibat hancurnya lahan-lahan pertanian produktif ulah bencana banjir air dan tanah sampai kepada isu terbaru hancurnya tatanan harga pangan dalam negeri karena banjir produk pangan impor. Di satu sisi bertubi-tubi paparan fakta mengenai menurunnya derajat kehidupan petani secara drastis, akibat harga produk pertanian (pangan) yang tidak lagi ekonomis. Namun, di sisi lain kita juga tidak bisa menutup mata atas antrian panjang masyarakat dalam setiap kali operasi pasar yang digelar pemerintah (dalam hal ini BULOG), juga karena masalah harga pangan di pasaran yang tak terjangkau oleh kantong mereka. 

Tanpa maksud menyederhanakan masalah, maka berdasarkan paparan di atas kemudian sangat penting sekali menentukan pada tingkat jumlah dan harga berapa hasil pangan domestik akan mencapai equlibrium, dalam artian bisa diterima oleh produsen maupun konsumen? Namun demikian, tulisan ini dibatasi hanya pada paparan berbagai fakta sekitar berbagai determinan yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan permintaan pangan domestik yang pada gilirannya sekaligus akan menentukan harga pangan tersebut. 

Kaji Ulang Konsep 

Saat ini ada dua pendekatan yang digunakan dalam konsep ketahanan pangan, yaitu pertama, pendekatan sisi produksi dan kedua pendekatan yang lebih holistik. Jika dilihat dari konsep produksi semata maka nyata sekali bahwa kecuali tahun pada tahun 1984, Indonesia tidak pernah lagi mencapai swasembada (surplus beras). Bahkan sejak saat itu sampai sekarang  Indonesia selalu mengalami kekurangan (defisit) dalam penyediaan stok pangan. Sehingga dapat dikatakan ketahanan pangan Indonesia terancam. Bahkan, negara ini sudah dapat digolongkan dalam taraf kekurangan pangan. Semakin rapuhnya ketahanan pangan, dapat dilihat dari semakin besarnya ketergantungan pemenuhan pangan Indonesia dari impor. 

Dampak Ekonomi HIV/AIDS

Davy Hendri 

Pendahuluan 

AIDS dikhawatirkan telah menjadi sebuah epidemi baru di Indonesia. Kekhawatiran itu rasanya tidaklah terlalu berlebihan, jika merujuk kepada fakta lapangan yang ada. Data Yayasan Partisipan mengungkapkan bahwa jumlah pasien HIV/AIDS yang mendaftar ke rumah sakit hingga Oktober 2003 ini sebanyak 3.925 orang (Republika, 9 Oktober 2003).  
 
Diperkirakan jumlah penderita yang sebenarnya, yang datanya tidak terekam pada berbagai sarana pelayanan kesehatan, jauh lebih banyak.  Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), di sejumlah negara di mana tes HIV belum merata dilakukan karena berbagai sebab maka untuk setiap HIV positif yang terdeteksi berarti di masyarakat ada 100 orang yang sudah terinfeksi HIV tapi belum terdeteksi. Inilah yang dikenal dengan fenomena gunung es, bagian es yang muncul di permukaan air hanyalah sebagian saja dibandingkan bagian es yang terletak di bawah permukaan air. Jika menggunakan perhitungan fenomena gunung es ini,  maka jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan hampir mencapai 400.000 orang pada akhir tahun 2003.

Pola Penyebaran HIV/AIDS 

Yang menarik untuk dikaji adalah  ternyata dari jumlah total itu maka  lebih  75 % penderita berasal dari kelompok masyarakat produktif yang berusia dalam rentang 14 - 40 tahun (Data diolah dari Baby Jim Aditya dot com). Sementara itu, penyebaran jumlah penderita dari hari kehari juga makin mengkhawatirkan. Jika pada rentang triwulan April-Juni 2003, kenaikan jumlah penderita sebesar 300 orang saja dari triwulan sebelumnya maka dalam rentang triwulan Juli-September 2003  kenaikannya sebesar 500 orang (pada akhir Juni 2003 jumlah penderita 3.445 orang).  

Kamis, 23 Oktober 2014

Pendidikan Dasar, Kuantitas Vs Kualitas?

Davy Hendri 
Dosen Jurusan Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol, Padang
KOMPAS, 30 Juli 2007

Salah satu konsensus dunia dalam bidang pendidikan adalah menjamin 100 persen anak bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya selambat- lambatnya tahun 2015 (MDGs 2015).
Terkait pendidikan dasar, gerakan Education For All (EFA) juga bertujuan meningkatkan keadilan mendapat pendidikan bagi anak perempuan, kelompok yang kurang beruntung, dan peningkatan kualitas hasil pendidikan. 

Independent Evaluation Group (IEG), sebuah lembaga penelitian di bawah Bank Dunia, menjadikan tema kualitas hasil pendidikan dasar ini sebagai isu utama, dalam laporan From Schooling Access to Learning Outcomes: An Unfinished Agenda, 2006. Penekanan terhadap kualitas hasil pendidikan dasar dimunculkan sebagai isu utama dalam arahan pembangunan pendidikan dasar dunia ke depan. Sebab, perolehan keterampilan dan pengetahuan dasar seperti membaca dan berhitung sesuai standar merupakan aset berharga untuk membebaskan individu dari jeratan lingkaran kemiskinan yang tak berkesudahan.

Dilema kebijakan 

Dalam konteks Indonesia, krisis ekonomi tahun 1997 menurunkan capaian angka partisipasi murni pendidikan dasar terutama pada keluarga miskin pedesaan, yang pada tahun 1988 mencapai 99,6 persen (BPS, 1988). Pemerintah lalu mengintervensi sisi suplai dengan membangun gedung-gedung sekolah baru yang berlokasi dekat permukiman penduduk, sekolah dua shift, dan program guru kontrak.

RAPBN 2008, "Pro-poor" Infrastruktur

Davy Hendri  
Dosen Jurusan Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol, Padang
KOMPAS, 27 Agustus 2007

Presiden Yudhoyono telah menyampaikan pengantar nota keuangan negara RAPBN 2008, di depan rapat paripurna DPR, 16 Agustus lalu. Asumsi dan alokasi dasar penyusun RAPBN 2008 menunjukkan, pemerintah berkomitmen menggunakan anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan penanggulangan kemiskinan. 

Bagaimanapun, arah dan kebijakan RAPBN itu layak diapresiasi. Kebijakan infrastruktur dan investasi harus menjadi bagian penting pengurangan kemiskinan pada negara berkembang dengan ciri infrastruktur buruk. Terkait penyediaan infrastruktur, Pemerintah Indonesia menghadapi beban ganda. Di bidang listrik, beban berat ada di Pulau Jawa dan Bali, sementara pulau-pulau besar di luar Jawa-Bali amat kekurangan listrik. Jalan raya sudah terlalu padat, sementara jalan bebas hambatan baru disiapkan. Proporsi penduduk yang bisa mengakses air bersih pun mengalami penurunan akibat penutupan sejumlah fasilitas dan karena pertumbuhan penduduk (World Bank, 2007). 

Ketimpangan pemanfaatan
 
Dari sisi kualitas, ketersediaan infrastruktur bukan berarti akan menurunkan angka kemiskinan. Laporan Bank Dunia Reaching The Poor 2005 menyimpulkan, hampir tidak ada korelasi positif antara ketersediaan infrastruktur (kuantitas) terhadap pengurangan tingkat kemiskinan. Desain kebijakan infrastruktur yang salah kaprah tidak menghasilkan hal berarti pada perbaikan kesejahteraan masyarakat miskin. 

Kaji Ulang Indikator Pembangunan Pendidikan



Davy Hendri  
Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol, Padang
KOMPAS,  25 April 2008

Ada dua fakta penting terkait pembangunan pendidikan Indonesia yang perlu dicermati sepanjang tahun 2007.

Pertama, laporan capaian Millenium Development Goals (MDG’s) dan kedua, laporan capaian program Education For All (EFA).
MDG’s Report in Indonesia 2007 yang dipublikasikan Bappenas bersama Bank Dunia menyimpulkan, Indonesia sudah dalam jalur yang benar. Indonesia termasuk salah satu negara berkembang di dunia dengan prestasi bagus dalam pencapaian angka partisipasi murni (APM) sekolah di sekolah dasar (SD) mendekati angka 100 persen.

Sementara itu, EFA Global Monitoring Report 2008, laporan tim EFA akhir 2007 menyatakan, posisi EFA Development Index (EDI) Indonesia tahun 2005 ada pada rangking 62 dari 129 negara yang disurvei. Prestasi ini menurun jika dibanding posisi 2002, rangking ke-58 dari 121 negara.

Kontradiksi capaian

Tak dapat dimungkiri, kedua fakta itu kontradiktif. Di satu sisi ada capaian positif, di sisi lain tertoreh catatan negatif. Sisi positifnya, selama 1992-2006 APM SD menunjukkan tren meningkat. Tahun 1992, APM SD 88,7 persen, menjadi 94,73 persen (2006). Jika tren ini dipelihara, diperkirakan sebelum 2015 Indonesia bisa menuntaskan target ke-2 MDG’s, yaitu tuntasnya SD bagi seluruh anak seusia itu.

Rabu, 15 Oktober 2014

Keberpihakan bagi Peternak Rakyat

Davy Hendri ; Dosen IAIN Imam Bonjol Padang,
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 17 September 2013


KISRUH harga daging sapi mencapai klimaks dengan terbitnya Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699 Tahun 2013 tentang Stabilisasi Harga Daging. Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan kebijakan operasional mengenai perubahan tata niaga impor daging sapi, yang semula berbasis kuota menjadi berbasis harga. Kebijakan itu membuka selebarnya pintu impor sapi hidup dan daging sapi sehingga diharapkan harga daging di dalam negeri yang selama ini bertengger di harga Rp90.000-an akan turun menjadi sekitar Rp76.000-an per kilogram.

Keputusan pemerintah untuk menempuh kebijakan ini pun tidak dirumuskan dengan mudah. Pertimbangan pemerintah bukan sekadar dalam lingkup industri sapi. Bukan hanya melindungi keberlangsungan usaha pedagang sebagai distributor, melainkan juga pelaku usaha sebagai konsumen antara dan rumah tangga sebagai konsumen akhir daging sapi dalam skala luas.

Lebih jauh dari itu. Kenaikan harga daging sapi secara dramatis dalam rentang waktu relatif pendek berpotensi memberikan sumbangan signifikan terhadap inflasi nasional. Padahal keterpurukan nilai rupiah saat ini sudah menggerek angka inflasi secara signifikan. Tanpa kontrol ketat terhadap inflasi, tidak tertutup kemungkinan tragedi resesi ekonomi nasional pada 1997 dapat terulang.

Tragedi peternak

Ironisnya, walaupun keran impor dibuka lebar, harga daging sapi bergeming. Hingga saat ini, peternak masih belum akan mau menjual sapi mereka. Harapan peternak rakyat untuk memperoleh profit tersisa dari booming demand yang diperkirakan terjadi menjelang Lebaran kurban. Sementara itu para feedloader yang mengimpor sapi bakalan saat ini tentu mengharapkan margin besar dari kenaikan bobot ADG (average daily gain). Sisi lain kebijakan ini, peternak sebagai produsen utama daging sapi berpotensi besar merugi.

Membangun Industri Nasional


Davy Hendri   ;   Dosen IAIN Imam Bonjol, Padang; 
Mahasiswa Program Doktoral pada Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia
KOMPAS,  22 Januari 2014
                                                                                                                       


ANJLOKNYA neraca perdagangan Indonesia merupakan masalah serius. Gara-gara terlena terus mengandalkan ekspor produk primer, neraca perdagangan Indonesia defisit sejak 2012 begitu harga komoditas anjlok dipukul krisis ekonomi global. Hal ini ditengarai lewat tekanan defisit transaksi berjalan di Indonesia yang lebih bersifat struktural.

Booming ekspor komoditas menyebabkan pemerintah lalai meningkatkan kapasitas industri dalam negeri untuk menghasilkan bahan baku.

Dari catatan data investasi asing yang masuk, sebagian besar menerjuni industri manufaktur barang akhir yang produknya dipasarkan di dalam negeri, sementara bahan bakunya didatangkan dari luar negeri karena manufakturnya tidak dibangun di sini.

Strategi industrialisasi

Fakta ini menegaskan bahwa daya saing ekonomi dan pertumbuhan terletak pada pelaksanaan industrialisasi yang kuat, dari hulu hingga hilir

Jalan Buntu Perlindungan Petani

Davy Hendri ;  Dosen Jurusan Ekonomi Islam
pada Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol, Padang
KOMPAS, 01 Maret 2013


Rencana pengesahan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang diinisiasi DPR masih menemui hambatan. Dalam proses pembahasan, pihak pemerintah belum sepakat dan masih meminta waktu untuk pembahasan detail beberapa pasal krusial. Pasal-pasal krusial dimaksud berupa pasal tentang kewajiban pemerintah dalam mengalokasikan anggaran publik (pemerintah) dalam skema asuransi dan pembiayaan bagi petani. Agaknya petani masih harus bersabar untuk dapat menikmati realisasi institusi keuangan semacam bank, asuransi, dan lembaga pembiayaan yang diperuntukkan khusus bagi mereka.
Alotnya pembahasan pasal kewajiban penyertaan anggaran publik dalam skema program pada beberapa RUU bukan cerita baru. Perbedaan paradigma antara berbagai pihak ditengarai jadi penyebab hal ini. Bukan hanya antara pemerintah dan DPR, tetapi juga antarkementerian di lingkup pemerintahan sendiri.
Terkait RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Kementerian Pertanian yang sejak 2010 memulai Lembaga keuangan Mikro Agribisnis dalam skala kabupaten/kota dan merencanakan berdirinya sebuah bank pertanian berskala nasional dalam renstra 2009-2014 ternyata sampai hari ini ”belum mampu meyakinkan” Kementerian Keuangan akan urgennya peranan pemerintah bagi eksistensi institusi keuangan khusus petani.
Menjelmakan sebuah institusi keuangan khusus bagi petani dan sektor pertanian memang tak mudah. Program ini merupakan pekerjaan besar. Di satu sisi, tidak ada satu pihak pun yang tidak menyadari pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian bangsa. Namun, di sisi lain, terkait kewajiban alokasi anggaran publik bagi sebuah institusi keuangan khusus petani ceritanya menjadi lain.

Bank Tanah untuk Rumah Murah

Davy Hendri ; Dosen IAIN Imam Bonjol Padang;
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi UI
KOMPAS, 03 Juli 2014


HARGA tanah di kota Jabodetabek secara umum mengalami kenaikan luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial yang dirilis BI, secara tahunan harga tanah di Jakarta rata-rata mengalami peningkatan 19,01 persen pada kuartal II-2013.
Sementara untuk perumahan, kenaikan harga properti residensial di pasar primer selama periode kuartal II-2013 adalah 1,93 persen per kuartal atau secara tahunan sebesar 12,62 persen. Jika didetailkan lagi, di beberapa lokasi ”emas” dan tipe perumahan segmen atas di DKI Jakarta mengalami kenaikan paling besar, bahkan sampai melebihi 20 persen per tahun.

Lebih luar biasa lagi, permintaannya tidak pernah mati. Setiap peluncuran stok perumahan primer selalu habis diserbu pembeli. Bahkan baru sebatas patokan atau model rumah sudah dipesan sejak jauh hari. Hal itu tak hanya berlaku untuk rumah primer (baru), tetapi juga rumah sekunder (seken).
Sebagai perbandingan, pada periode yang sama harga properti residensial di pasar sekunder DKI Jakarta meningkat 3,63 persen per kuartal atau 17,45 persen pada periode yang sama. Dalam mekanisme pasar perumahan yang disediakan oleh pihak pengembang swasta, di kota mana pun berlaku adagium ”ada barang ada uang”.

Tata Ulang Tata Ruang

Davy Hendri
Dosen IAIN Imam Bonjol, Padang
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia

Menteri Pertanian, Suswono dalam diskusi dengan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Bogor, Minggu (18/5) menyatakan perlunya menghentikan sementara (moratorium) alih fungsi lahan pertanian. Wacana ini mencuat sebagai alternatif kebijakan menyangkut terbatasnya luas lahan yang masih menjadi kendala dalam peningkatan produksi dan produktivitas pangan. Isu luas lahan ini terungkap dari  fenomena menyusutnya luas lahan pertanian akibat tingginya alih fungsi atau konversi areal pertanian untuk non-pertanian. 

Secara implisit hal ini menunjukkan betapa tidak imbangnya kekuatan  2 kubu utama, antara pemerintah di satu sisi dan  pasar di sisi lainnya. Intervensi pemerintah pada sisi supply berupa pencetakan sawah baru ibarat bertumbuh dalam deret hitung.  Kemampuan pemerintah mencetak sawah baru hanya mencapai 38.000 hektare per tahun.  

Pusing Kepala Mengelola Kurs

Davy Hendri
Dosen IAIN Imam Bonjol Padang
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat beberapa waktu terakhir. Pada 10 Maret 2014 rupiah per dolar AS bergerak menguat ke posisi Rp11.370 dibanding  pada 30 Desember 2013 yang mencapai  Rp12.270 (BI). Penguatan ini didorong oleh perbaikan (penurunan defisit) neraca transaksi berjalan dan neraca modal & finansial secara keseluruhan pada akhir triwulan penutupan tahun 2013. Penurunan defisit transaksi berjalan terutama didukung oleh naiknya surplus neraca perdagangan barang (current account), yang bersumber dari bertambahnya surplus neraca perdagangan non-migas dan menyempitnya defisit neraca perdagangan migas. 
Neraca perdagangan pada item perdagangan non-migas mencatatkan surplus dalam triwulan IV-2013 sebesar 4,894 juta dolar AS. Namun, fakta di atas juga tak bisa menegasikan kontribusi melemahnya nilai rupiah pada periode akhir tahun 2013. Surplus dagang non-migas pada triwulan IV tadi tercipta saat rupiah sedang lemah-lemahnya, 

Potensi Krisis Kembar di Depan Mata

Davy Hendri
Dosen IAIN Imam Bonjol Padang
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia

Trend pelemahan nilai tukar rupiah yang signifikan saat ini telah menyita perhatian besar dari publik. Betapa tidak, rupiah telah terdepresiasi hampir mencapai 20 % dalam tahun ini saja. Rupiah secara point-to point melemah dari  level Rp 9.638 per dolar AS pada awal Februari menjadi  Rp. 11.515 per dolar AS pada paruh September 2013. Biaya yang digelontorkan BI untuk meredam trend pelemahan rupiah dalam rentang waktu yang sama juga sangat besar.  Hampir mencapai 20 miliar dolar AS cadangan devisa telah terkuras.  Bila posisi di BI pada awal Februari sebesar  112,78 miliar dolar AS maka pada awal September melorot menjadi 93 miliar dolar AS.

Selain dampak lansung di atas,  implikasi pelemahan mata uang kepada perekonomian ibarat 2 sisi mata uang. Pertama, berkah tersembunyi (disguissed blessing). Depresiasi mata uang seharusnya berdampak positif pada peningkatan daya saing produk suatu negara terhadap produk asing karena harganya relatif lebih murah. 

Belajar Demokrasi dari Polemik Wacana Pemilu(Kada

Davy Hendri
Dosen IAIN Imam Bonjol Padang
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia

Polemik wacana pilkada lansung dan tidak lansung mencapai klimaks babak pertama dengan ketukan palu sidang paripurna DPR pada Jumat 26 September dini hari. Melalui mekanisme voting dalam rapat paripurna, dengan 226 anggota DPR setuju Pilkada tak langsung, dan 135 anggota DPR setuju Pilkada langsung, Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) sudah sah menjadi sebuah UU. Polemik ini akan memasuki babak kedua dengan langkah beberapa LSM, APKASI dan Koalisi Partai pendukung Pilkada Lansung untuk segera mengajukan Judicial Review UU yang baru berusia beberapa hari ini ke hadapan MK.

Polemik wacana pilkada lansung dan tidak lansung sebenarnya merupakan ranah intelektual. Laiknya sebagai bangsa yang demokratis, di sini seharusnya yang bertarung adalah argumen dengan di dasari logika.  Sehingga yang menjadi pemenang seharusnya adalah argumen terbaik yang mampu memuaskan kebutuhan mayoritas masyarakat sebagai konstituen. Namun sayang,  timingnya tidak pas dan moment hawa panas pilpres juga belum setengahnya mereda. 

Lesson Learned from A Young Doctor

Davy Hendri
Lecturer at Islamic Economics Department, IAIN Imam Bonjol, Padang
Doctoral Program Student in Economics, University of Indonesia, Depok



Gamal Albinsaid is a young doctor whose unique and great of talents. Unique, because as a doctor, he may only the one in this country who initiated the concept of providing health service  with garbage insurance system for the citizens can not afford to pay it. To date approximately 500 residents around the city of Malang can enjoy basic health services only with garbage as they have paid. Great, because of  the idea that he was given the award of "The Prince of Wales Young Entrepreneur Sustainability " of Prince Charles in the UK on 30th January. ( Guardian , January 31 )


Replicating Effort


Although health care is increasingly perceived as a human right and public good, in reality resources constraint slow the deployment and scale-up

Memikat Hati Para Pemilih Muda

Davy Hendri
Dosen IAIN Imam Bonjol, Padang
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universita Indonesia

Pesta demokrasi rakyat, pemilu legislatif 2014, tinggal beberapa hari lagi. Dalam rangkaian proses persiapan sampai hari-H pelaksanaan pileg ini tentu banyak daftar kelemahan dan kekurangan yang ditemui. Tanpa menafikan segala catatan itu, kita berharap pileg kali ini dapat berjalan baik sebagaimana mestinya. Salah satu indikatornya akan kita lihat pada tingkat keterlibatan warga dalam menggunakan hak pilihnya (turnout rate). Semakin turnout rate menunjukkan trend kenaikan secara merata pada semua lapisan warga berarti semakin membaik pileg kali ini.

Dari beragam segmen warga tadi, warga kelompok usia muda (usia 16-29 tahun) seharusnya layak menjadi pusat perhatian. Tingginya turnout rate kelompok usia muda dalam pileg tidak hanya akan menjadi success story pihak penyelenggara (KPU dan negara). Pihak yang paling berkepentingan dengan mereka adalah parpol dan caleg peserta pileg. Merebut hati para pemilih muda (dan pemilih pemula dalam rentang usia 16-20 tahun)

MEREBUT SUARA KELAS MENENGAH

Davy Hendri
Dosen IAIN Imam Bonjol, Padang
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia

Jika tidak ada aral melintang, KPU akan melantik dua pasangan capres-cawapres; Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, pada tanggal 31 Mei 2014 mendatang. Dengan hanya ada 2 pasang calon, pilpres akan berlansung dalam 1 putaran.  Dari satu sisi, pilpres 31 Juli nanti akan lebih efisien, paling tidak menghemat 3,9 T APBN. Di sisi lain, pertarungan sudden death ini seharusnya berbuah strategi terbaik dari timses (tim sukses) pasangan capres-cawapres dalam menggaet suara pemilih. Maka tidak berlebihan kiranya, masyarakat berharap disuguhi beragam strategi kampanye menarik, elegan dan bermartabat bahkan mungkin saja out-of-the box di hari-hari ke depan. 

Tanpa bermaksud mengabaikan kelas masyarakat lainnya, tapi berbicara pemenangan suara rakyat, timses kedua pasang capres-cawapres harus memberi perhatian khusus kepada kelas menengah. Selain potensi sosial-ekonominya, potensi demografi kelas ini juga luar biasa. Boston Consulting Group (BCG) menyatakan pada 2014 kelas menengah Indonesia berjumlah 74 juta. Sementara itu, Pemerintah dengan merujuk kepada defenisi ADB menyatakan kelas menengah di Indonesia pada 2013 sebanyak 56,7 persen dari total penduduk. 

Conformity Cost
Upaya ini tentu saja membutuhkan biaya. Transaction cost berupa waktu, effort dan sumber daya yang dibutuhkan lumayan berat dan mahal. Ribet sekali merebut hati dan menyatukan suara (collective decisions) dari masyarakat kelas menengah yang terserak dalam berbagai kelompok geografi, profesi, umur dan sebagainya.

MELAWAN SPEKULAN TANAH (KOMPAS, 31 Juli 2015)

Davy Hendri  
Peneliti pada Pocin Institute of Economics, Depok

Negeri ini penuh ironi yang tak habis-habisnya. Negeri ini kaya akan sumber energi, tapi harga energi semakin hari kian tinggi. Negeri ini mengakui jati dirinya sebagai negeri maritim dengan puluhan ribu pulau, tapi justru nelayan sebagai aktor ekonomi utamanya selalu menjadi kelompok termarjinalkan. Negeri ini dikenal sebagai negeri agraris, tapi para petani selalu gigit jari dengan tabiat kecanduan impor komoditas yang diidap pemerintahnya.

Satu lagi ironi itu adalah negeri ini berkelimpahan lahan (tanah). Dengan luas daratan mencapai 1,8 juta kilometer persegi, negeri ini merupakan negeri dengan daratan terbesar ke-13 di dunia. Namun, kebutuhan rumah rakyat yang belum terpenuhi atau backlog di dalam negeri pada tahun 2013 lalu saja mencapai hingga 21,7 juta (BPS, 2013).

Bagaimana tidak! Jika dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita sebesar Rp 36,5 juta (BPS, 2013), untuk memperoleh rumah layak dengan harga rata-rata semisal Rp 185 juta per unit, dengan asumsi maksimal 50 persen pendapatan tersebut digunakan untuk mencicil harga rumah sederhana, rakyat baru akan memilikinya (SHM) setelah di atas 10 tahun. Tentu tak semua rakyat berpendapatan tahunan Rp 36,5 juta.

Belum lagi berbicara tentang fakta bahwa pertumbuhan PDB per kapita cuma merangkak dalam satu digit, sebesar 8,88 persen, dibandingkan dengan PDB per kapita 2012 sebesar Rp 33,5 juta. Sementara itu, kenaikan harga lahan dan perumahan dalam beberapa tahun terakhir berlari kencang dalam dua digit, sebesar 19,01 persen, di kuartal II-2013 (Survei Harga Properti Residensial, BI).

Spekulan tanah

Ekuilibrium pasar perumahan ini semakin sulit tercapai dengan fakta semakin merebaknya perilaku spekulan tanah. Beberapa spekulan tanah membeli tanah mentah (tanpa bangunan dan infrastruktur di atasnya) dan hanya membiarkannya sampai mereka berpikir waktunya sudah cukup untuk pembangunan. Sambil menunggu harga naik, spekulan melakukan hal yang berbeda dengan tanah yang telah dikuasainya.

Pada kasus tertentu, spekulan tanah membeli tanah dalam rangka mengembangkan, mengharapkan kenaikan nilai tanah akan menjadi sebagian besar dari keuntungan mereka. Pada kasus lain, spekulan membeli tanah di pinggiran kota yang jauh, dengan melewati dan membiarkan daerah sekitar yang dilaluinya menjadi kosong (urban sprawl).

Perilaku spekulan tanah yang tidak terkontrol ini sangat merugikan perekonomian secara umum. Secara lugas, Henry George, ekonom AS, dalam kajiannya 120 tahun yang lalu telah menyatakan bahwa spekulasi pertanahan merupakan pemicu utama krisis perekonomian Amerika bahkan dunia. Hal ini dibuktikan dalam subprime mortgage crisis di AS selama Desember 2007-Juni 2009 yang menjalar menjadi resesi global. Secara umum hal ini disebabkan oleh ulah spekulan tipe pertama yang berkolaborasi dengan industri keuangan dan perbankan.

Selain berdimensi inefisiensi produksi, spekulasi pertanahan juga berdimensi ketidakadilan distribusi. Pada kasus spekulan tipe kedua, pemerintah terpaksa menyediakan berbagai fasilitas publik untuk masyarakat yang terdesak ke daerah-daerah pinggiran kota. Uang pajak masuk digunakan membangun pekerjaan umum, seperti jalan raya, utilitas umum, taman, keamanan, perlindungan kebakaran, dan sekolah di daerah pinggiran. Hal ini pada gilirannya akan mendongkrak nilai tanah.

Jadi, pemilik tanah mendapatkan subsidi pemerintah dalam bentuk peningkatan sewa karena infrastruktur atas biaya dari pajak yang dibayarkan oleh pekerja dan bisnis, bukan pemilik tanah. Spekulan tanah memperoleh transfer kekayaan dari pekerja jika spekulan tadi piawai menebak dengan benar di mana pusat pertumbuhan daerah baru akan terjadi.

Meminimalkan insentif

Spekulasi tanah menjadi disfungsional (penyebab kesulitan ekonomi) tak melulu terkait faktor spekulasi itu sendiri. Spekulasi pertanahan terjadi karena adanya insentif untuk berinvestasi dalam tanah. Siapa pun berpotensi menjadi spekulan tanah jika saya-atau siapa pun-melihat kelemahan mendasar yang menjadi celah masuk ke dalam bisnis ini. Logikanya, jika kondisi keberadaan regulasi dan mekanisme pasar justru menyebabkan suburnya praktik spekulasi ini, si pembuat regulasilah yang bersalah. Dalam hal ini adalah pemerintah.

Pemerintah membiarkan rakyat kalah adu kekuatan finansial guna memperebutkan sepetak tanah dengan para spekulan. Jadi, meminimalkan insentif itu merupakan solusi rasional untuk menebus kesalahan. Untuk meminimalkan insentif bagi para spekulan lahan tipe pertama, pemerintah harus memperbarui rezim bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) secara progresif sesuai waktu dan lokasi.

Semakin luas lahan yang dikuasai individu, sudah seharusnya beban pajak yang ditanggung semakin besar pula. Jika perlu, perlu ada batasan maksimal kepemilikan tanah oleh satu orang individu atau perusahaan. Dalam konteks ini, inisiatif Pemprov DKI Jakarta untuk memperbarui NJOP berdasarkan lokasi secara reguler merupakan langkah maju dalam wacana keuangan daerah.

Sementara itu, adaptasi konsep land value tax (LVT) di beberapa negara, seperti Denmark, Estonia, Rusia, Hongkong, Singapura, dan Taiwan, diprediksi dapat mengurangi insentif para spekulan lahan tipe kedua. Berbeda dengan NJOP, pengenaan ad valorem tax atas nilai lahan ini tidak akan memengaruhi kenaikan harga lahan.

Justru pengenaan LVT untuk tujuan akhir apa pun nantinya pada lahan itu akan menjadi insentif bagi maksimalisasi penggunaan lahan yang sudah dimiliki. Secara khusus, pengenaan LVT yang tinggi pada daerah produktif (farm area) digabung dengan proses zonasi berbasis GPS diharapkan dapat meminimalisir laju konversi lahan pertanian