Pages

Minggu, 26 Oktober 2014

Reorientasi Segmen Pasar Bank Syari'ah

Davy Hendri  
Republika 7 Sept 2002

Pertumbuhan sistem perbankan syari'ah di Indonesia dewasa ini sangat menggembirakan. Di saat perbankan konvensional (bank berbasis bunga) sedang disibukkan oleh program rekapitalisasi, restrukturisasi maupun rasionalisasi, perbankan syari'ah justru menunjukan fenomena sebaliknya. Dunia perbankan syari'ah sedang sibuk-sibuknya melakukan ekspansi terlihat dengan pertambahan jumlah bank, baik karena kehadiran pemain baru ataupun dari semakin eksisnya para pemain lama.

Statistik Perbankan Syari'ah (BI, Juni 2002) memperlihatkan data bahwa jika sebelum tahun 1998 baru ada 1 unit bank komersial syari'ah yaitu Bank Muamalat Indonesia maka pada akhir Juli 2002 telah bertambah 7 unit pemain baru lagi dalam dunia perbankan syari'ah. Sementara itu dari sisi luas jangkauan ke masyarakat, jika pada tahun 1998 itu, BMI baru mempunyai 10 unit kantor cabang (KC), 1 unit kantor cabang pembantu (KCP) dan 19 unit kantor kas (KK) maka pada akhir Juli 2002 total seluruh perbankan syari'ah di Indonesia telah mempunyai 55 unit KC, 8 unit KCP dan 48 unit KK.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran bank syari'ah secara emosional keagamaan setidaknya telah memenuhi harapan bathiniah berupa rasa aman dalam bertranksasi dan melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan rambu-rambu syari'ah bagi ummat. Lebih jauh dari itu, di sisi lain, sebagai lembaga intermediasi keuangan, perbankan syari'ah sebagaimana juga perbankan yang berbasis sistem bunga uang, dituntut untuk juga memainkan peranan yang sangat vital dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa.



Karena itu, anggaplah sebagai sebuah evaluasi perjalanan, satu hal yang harus selalu dipertanyakan adalah apakah kehadiran bank syari'ah sampai saat ini sudah berdampak ekonomis bagi ummat itu sendiri secara keseluruhan?

Defenisi Bank Syari'ah
Menurut Umar Chapra, bank syari'ah bukanlah semata-mata bank yang mengeliminasi sistem bunga dalam operasionalnya. Menurutnya, bank syari'ah adalah bank yang sifat, mekanisme dan operasionalmya sangat berbeda dari bank-bank konvensional. Selain menolak konsep riba, menurutnya karena bank syari'ah mengelola dana publik, mereka juga harus melayani kepentingan publik daripada kepentingan sekelompok orang atau golongan. Dengan kata lain, mereka juga melakukan peran yang berorientasi kesejahteraan-sosial (social-welfare oriented) daripada sekedar memaksimalkan keuntungan.

Lebih jauh, menurutnya, karakteristik utama dari sebuah bank syari'ah dapat dikelompokkan ke dalam empat hal.
Pertama, prinsip filosofis. Bank syari'ah tidaklah bebas beroperasi begitu saja sesuai dengan keinginan mereka, tetapi haruslah mengintegrasikan nilai-nilai moral dengan aktifitas ekonomi. Uang dan kekayaan adalah alat sosial untuk mencapai kebutuhan sosial. Jadi, tujuan bank syari'ah bukanlah maksimalisasi keuntungan, dengan menghalalkan segala cara tetapi justru maksimalisasi keuntungan sosial.

Kedua, investasi dengan prinsip bagi hasil. Jika bank konvensional bertujuan untuk menyediakan surplus dana bagi yang membutuhkan dengan sistem bunga, bank syari'ah ditujukan untuk menyediakan surplus dana dengan sistem bagi hasil.

Ketiga, perilaku yang baik. Konsep bagi hasil akan menciptakan hubungan yang harmonis antara penabung, bank dan peminjam. Dengan kepercayaan yang diberikan tanpa menentukan besarnya hasil di awal maka peminjam akan melakukan usaha dengan lebih efisien dan nyaman.

Sementara itu sebagai konsekuensinya tentulah penabung atau pemegang saham berusaha sebaik mungkin menjadi orang yang pertama sekali mendorong minimal mengharapkan keberhasilan usaha dari peminjam dananya tadi.

Keempat, ciri sosial. Bank syari'ah, karena ciri prinsipnya, haruslah merupakan bank sosial, bukan hanya sekedar bank yang mencerminkan beberapa fungsi sosialnya secara spesial

Praktek Bank Syari'ah

Beranjak dari defenisi di atas maka sangat wajar bila konsep bagi hasil (profit loss sharing), telah menjadi brand image tersendiri sebagai salah satu keunggulan produk sistem perbankan syari'ah dibandingkan dengan sistem bank berbasis bunga uang, sehingga bank syari'ah itu juga dikenal masyarakat dengan istilah bank bagi hasil.

Walaupun kecil, tetapi hingga saat ini pangsa perbankan syari'ah terhadap total dunia perbankan di Indonesia, jika dilihat dari sisi asset telah mencapai 0,32 persen. Sementara itu, dilihat dari sisi penyebaran dana (pembiayaan) telah mencapai 0,76 persen. Pada bulan Juni 2001 total pembiayaan dengan skema musyarakah dan mudharabah berturut-turut cuma sebesar 2,02 persen dan 25,51 persen dari total pembiayaan yang dilakukan. Sementara itu pembiayaan dengan skema murabahah pada saat yang sama mencapai 63,39 persen.

Selanjutnya, pada akhir Juni 2002 total pembiayaan dengan skema musyarakah meningkat sedikit menjadi 2,56 persen dan pembiayaan dengan skema mudharabah justru menurun tajam menjadi cuma sebesar 14,81 persen dari total pembiayaan yang dilakukan. Sementara itu pembiayaan dengan skema murabahah justru meningkat mencapai 69,81 persen.

Dari sisi penyebaran kantor cabang maka untuk saat ini jangkauan pelayanan perbankan syari'ah secara dominan hanya terbatas pada daerah-daerah perkotaan. Itupun baru dominan di pulau Jawa. Sementara itu, pada daerah di luar Jawa, untuk level provinsi banyak yang belum ada, apalagi level kota/kabupaten. Tentu saja sesuai dengan spesifikasi perekonomian daerah perkotaan (urban based economics), kemudian penyaluran pembiayaan akan lebih dominan pada sektor-sektor ekonomi berbasis indutri dan perdagangan dengan skema pembiayaan murabahah yang berjangka pendek (short-term).

Profil Nasabah

Perbankan syari'ah di Indonesia, dengan umurnya yang masih muda dituntut untuk bersaing dengan perbankan konvensional sesuai mekanisme pasar (demand driven). Karena itu, bila ternyata paradigma sistem perbankan syari'ah yang selama ini dipakai lebih dominan pada tujuan memenangkan persaingan dengan bank-bank konvensional pada model-model pembiayaan yang kompetitif yaitu berdasarkan jual beli dan leasing maka amat layak untuk dikhawatirkan bahwa kehadiran bank syari'ah ternyata tidak akan membawa dampak akan signifikan bagi perekonomian ummat.

Karena apa? Bila bank syari'ah ternyata kemudian berhasil memenangkan persaingan ini maka itu tak lebih berarti bahwa bank syari'ah hanya berhasil merebut market share (nasabah) dari perbankan konvensional yang sudah eksis selama ini, yaitu kelompok masyarakat perkotaan yang sudah mapan (urban) dan bank minded. Bank syari'ah sama sekali belum berhasil menciptakan segmen pasar baru dengan mengumpulkan nasabah-nasabah dari kelompok masyarakat rural dan sektor informal lainnya.

Oleh karena itu, harus dipahami bahwa umat islam bukanlah terbatas hanya pada umat yang yang menggunakan jasa perbankan syari'ah, atau sudah memiliki tradisi menabung di perbankan konvensional. Tetapi umat Islam itu juga adalah para petani, nelayan, pedagang kecil, buruh dan umat yang bekerja di berbagai sektor informal lainnya, yang jangankan menggunakan jasa perbankan syari'ah sebagai pemain baru dalam jagad perbankan nasional, memasuki kantor bank konvensional saja, selama ini mereka belum pernah. Namun justru, umat Islam yang berada dalam kelompok ini lebih dominan jumlahnya di negeri ini. Inilah pangsa pasar terbesar yang menjanjikan dan sama sekali belum tergarap oleh dunia perbankan di Indonesia secara umum untuk saat ini.

Khusus untuk kelompok ini, skema pembiayaan jual-beli (murabahah) tentu saja tidak cocok untuk dipraktekkan karena mereka rata-rata tidak memiliki aset yang cukup atau katakanlah minim untuk dijadikan sebagai jaminan (colateral). Lagi pula, pada sektor-sektor pertanian secara umum, returnnya akan berdurasi untuk jangka waktu yang cukup panjang (long-term). Sehingga, Sudin Haroon, seorang pakar perbankan syari'ah Malaysia, menyimpulkan bahwa dengan menganalisa krakteristik sektor usahanya bisa dikatakan bahwa skema pembiayaan yang paling ideal untuk memberdayakan kelompok ini adalah skema pembiayaan bagi hasil (musyarakah dan mudharabah).

Reorientasi

Kesimpulan sementara yang bisa ditarik adalah bahwa bila perbankan syari'ah ingin selalu eksis dengan idealisme sesuai dengan defenisinya (syari'ah driven) maka para nasabah baru dengan spesifikasi usaha yang cocok dengan skema pembiayaan bagi hasillah yang seharusnya menjadi bidikan segmen pasar mereka. Karenanya ada beberapa PR penting yang harus segera dilakukan oleh bank syari'ah di tanah air.

Pertama, kalangan perbankan syari'ah mutlak harus melakukan reorientasi segmen pasar sekaligus skema pembiayaannya. Kedua, meningkatkan skill pelaksana terutama dalam mengantisipasi perubahan dua poin penting di atas (demand driven).

Bahkan Moh Arief, seorang pakar ekonomi syari'ah, mengatakan bahwa tidaklah terlalu berlebihan untuk menyatakan bahwa saat ini ada kebutuhan mendesak agar lembaga keuangan syari'ah berspesialisasi pada bank mudharabah dan bank musyarakah agar mereka dapat bersaing secara sehat dalam menyediakan jasa intermediasi keuangan yang terbaik bagi ummat. Sehingga diharpakan perbankan syari'ah tadi mampu berkontribusi positif bagi pemberdayaan umat secara keseluruhan.

Kita mendoakan agar pihak perbankan syari'ah sebagai para praktisi dan pihak pemeritah sebagai regulator mendengarkan harapan ini. Wallahu 'alam bi shawab.

Penulis, Direktur Yayasan GARDA ERA dan Dosen pada Akademi Ekonomi Syari'ah Adzkia Padang

0 komentar :

Posting Komentar