Davy Hendri
Republika, 16 Oktober 2002
Tanggal
16 Oktober, diperingati setiap tahun sebagai hari pangan dunia (World
Food Day), yang didesain sebagai sebuah momen yang bertujuan untuk
menggalang aksi memerangi kelaparan di seluruh dunia. WFD yang ke–22
tahun 2002 ini juga sekaligus memperingati ulang tahun FAO (Food and
Agricultural Organization of the United Nations) yang ke-57.
Dalam
konteks kekinian, bagi Indonesia, momen WFD ini menjadi sangat penting
artinya bila dikaitkan dengan isu ketahanan pangan. Berbagai peristiwa
besar yang tidak menggembirakan telah terjadi di dunia pertanian
(pangan) bangsa ini. Mulai dari mencuatnya kenaikan harga pangan
domestik akibat hancurnya lahan-lahan pertanian produktif ulah bencana
banjir air dan tanah sampai kepada isu terbaru hancurnya tatanan harga
pangan dalam negeri karena banjir produk pangan impor. Di satu sisi
bertubi-tubi paparan fakta mengenai menurunnya derajat kehidupan petani
secara drastis, akibat harga produk pertanian (pangan) yang tidak lagi
ekonomis. Namun, di sisi lain kita juga tidak bisa menutup mata atas
antrian panjang masyarakat dalam setiap kali operasi pasar yang digelar
pemerintah (dalam hal ini BULOG), juga karena masalah harga pangan di
pasaran yang tak terjangkau oleh kantong mereka.
Tanpa
maksud menyederhanakan masalah, maka berdasarkan paparan di atas
kemudian sangat penting sekali menentukan pada tingkat jumlah dan harga
berapa hasil pangan domestik akan mencapai equlibrium, dalam artian bisa
diterima oleh produsen maupun konsumen? Namun demikian, tulisan ini
dibatasi hanya pada paparan berbagai fakta sekitar berbagai determinan
yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan permintaan pangan
domestik yang pada gilirannya sekaligus akan menentukan harga pangan
tersebut.
Kaji
Ulang Konsep
Saat
ini ada dua pendekatan yang digunakan dalam konsep ketahanan pangan,
yaitu pertama, pendekatan sisi produksi dan kedua pendekatan yang lebih holistik. Jika dilihat dari konsep produksi
semata maka nyata sekali bahwa kecuali tahun pada tahun 1984, Indonesia
tidak pernah lagi mencapai swasembada
(surplus beras). Bahkan sejak saat itu sampai sekarang
Indonesia selalu
mengalami kekurangan (defisit) dalam penyediaan stok pangan. Sehingga
dapat dikatakan ketahanan pangan Indonesia terancam. Bahkan, negara ini
sudah dapat digolongkan dalam taraf kekurangan pangan. Semakin rapuhnya
ketahanan pangan, dapat dilihat dari semakin besarnya ketergantungan
pemenuhan pangan Indonesia dari impor.
Ketergantungan
terhadap impor terlihat pada komoditas beras. Data yang ada pada
Departemen Perindustrian dan Perdagangan menyebutkan impor beras tahun
2001 mencapai 1,5 juta ton, sementara tahun 1997 hanya 349.000 ton.
Kecenderungan yang sama juga terjadi pada kedelai. Impor kedelai yang
tahun 1997 sebesar 868.000 ton meningkat menjadi 921.000 ton tahun 2000
dan 1,3 juta ton tahun 2002. Demikian pula untuk gula, gandum, daging
sapi, dan unggas.
Sementara
itu, Soekarwati, Guru besar
Universitas Brawijaya Malang mempunyai konsep yang berbeda. Beliau
menilai, dengan hanya melihat dari konsep produksi maka ketahanan pangan
cenderung hanya diartikan sebatas bagaimana memproduksi pangan,
khususnya beras, yang cukup dan kalau belum cukup maka bagaimana
produksi harus ditingkatkan. Menurut Soekarwati, pernyataan ini bukan
saja tidak lengkap, namun juga pengertiannya sempit.
Ketahanan
pangan, pada dasarnya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan (baik
untuk rakyat yang tinggal di tempat terpencil atau golongan rakyat
miskin) baik dilihat dari aspek kuantitas (produksi), kontinuitas,
kualitas, maupun aspek harga yang terjangkau oleh rakyat banyak. Dengan
demikian, dalam ketahanan pangan ada aspek produksi, konsumsi,
distribusi dan harga yang dihadapi bukan saja oleh produsen, tetapi juga
konsumen. Bahkan lebih jauh lagi, dalam analisanya, konsep ketahanan
pangan dan implikasi permasalahannya di Indonesia, tidak saja
dipengaruhi masalah yang ada di dalam negeri, tetapi juga masalah
terkait di luar negeri
Oleh
karena itu, perbedaan pendekatan ini, tentunya akan menghasilkan
berbagai rekomendasi strategi yang juga berbeda dalam menyikapi masalah
ketahanan pangan nantinya. Baiklah, karena tentu akan lebih menarik
untuk membicarakan konsep ketahanan pangan dalam spektrum yang lebih
luas (holistik), maka tulisan
ini akan coba menguraikannya secara
gamblang.
Tantangan
Globalisasi
Di
era dunia tak berbatas (borderless world) sekarang ini maka
pembicarakan tentang ketahahan pangan domestik tentu tidak terlepas dari
kerangka globalisasi itu sendiri. Masalah luar negeri ini justru yang
relatif sulit dihadapi, karena adanya faktor yang melibatkan tekanan
negara lain atau lembaga internasional (pressure groups) di mana Indonesia juga menjadi anggotanya, seperti
ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC)
atau World Trade Organization (WTO) atau bahkan International Monetary
Fund (IMF). Faktor-faktor di atas akan sangat mempengaruhi ketahanan
pangan bagi masyarakat pertanian sebagai produsen pangan.
Suatu
contoh, komitmen Indonesia dengan IMF pada 15 Januari 1998 lalu
mensyaratkan adanya penurunan tarif untuk semua jenis pangan menjadi
maksimum lima persen. Ini sesuai kesepakatan perjanjian AFTA untuk
komoditas yang tercantum di CEPT (The Common Effective Preferential
Tariff). Begitu pula dengan WTO misalnya, di mana Indonesia yang menjadi
anggota harus mengikuti kebijakan perdagangan produk-produk pertanian
yang mengikuti sistem perdagangan multilateral. Perjanjian di WTO juga
mensyaratkan adanya komitmen mengurangi tingkat subsidi ekspor, subsidi
domestik dan impor.
Akibatnya,
perjanjian di bidang pertanian melahirkan komitmen untuk mengadakan
liberalisasi perdagangan dengan komitmen menyusun schedule
tariff. Misalnya, rata-rata penurunan tarif produk pertanian bagi
negara berkembang selama 10 tahun (1995-2004) sebesar 24 persen. Ini
tentu menyulitkan pemerintah Indonesia dalam rangka menetapkan program
subsidi guna melindungi petani.
Transformasi
Perekonomian
Masalah
dalam negeri, tidaklah kalah kompleksnya. Faktor utama yang harus
menjadi kajian adalah kebijakan transformasi struktural (structural
transformation) sektor ekonomi dari negara agraris yang bertumpu
pada sektor pertanian menuju
negara industri dan jasa modern. Kebijakan ini membawa implikasi pada
industrialisasi yang membutuhkan sumber daya dalam jumlah besar, baik
manusia, lahan, energi dan modal. Sehingga selama kurang lebih 30 tahun
ini terjadilah tarikan secara alami maupun alokasi berbagai resources
tadi ke sektor industri.
Saat
ini di berbagai negara berkembang (termasuk Indonesia) bisa dilihat tren
pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang diramalkan pada tahun 2020,
jumlahnya akan meningkat dari 4,9 miliar ke 6,8 miliar (The
Unfinished Agenda, IFPRI, 2001). Sebagai konsekuensinya, pertumbuhan
jumlah penduduk miskin kota, kerawanan pangan dan kekurangan gizi akibat
konversi lahan-lahan pertanian produktif di Jawa dan pagu kredit
perbankan yang terkonsentrasi pada sektor industri di perkotaan tentu
akan mengiringi proses urbanisasi tersebut. Memang secara keseluruhan,
seperti telah dikemukakan oleh Biro Pusat Statistik, jumlah penduduk
miskin di perkotaan meningkat dengan tajam, yaitu dari 7,2 juta pada
tahun 1996 menjadi paling sedikit 22,6 juta pada Juli tahun 1998 yang
merupakan kira-kira 30 % dari
jumlah total penduduk perkotaan di Indonesia dewasa ini. Sebagai contoh,
untuk DKI Jakarta saja, lebih dari 60 % penduduknya tinggal di
perkampungan-perkampungan kumuh.
Sementara
itu, data Bank Indonesia menyebutkan bahwa pada tahun 1999 secara
nasional penyaluran kredit perbankan untuk sektor pertanian hanya 9,4 %
dari total penyaluran kredit, sisanya lebih 90 % disalurkan ke sektor
non-pertanian. Bahkan untuk perkembangan kredit usaha kecil pada tahun
1999 sektor pertanian hanya menyerap 20 % dari total kredit usaha kecil
yang berjumlah sekitar 37,2 triliun rupiah, sedangkan sisanya 80 %
diserap oleh sektor industri, perdagangan, jasa, dan lain-lain
(Anonim, 1999).
Menyiasati
Kerawanan Penghasilan
Beberapa
faktor jelas akan mempengaruhi kasus kerawanan pangan penduduk miskin
perkotaan. Karena penduduk perkotaan harus membeli sebagian besar dari
makanan yang dikonsumsinya maka ketahanan pangan penduduk perkotaan
jelas akan sangat tergantung kepada apakah rumah tangga konsumen
pangan ini dapat membeli pangan, dengan harga dan tingkat
penghasilan yang tertentu (given
prices and incomes). Selain itu, berbagai kebijakan makro ekonomi
seperti inflasi akibat pengetatan fiskal (pencabutan berbagai subsidi)
dan moneter, kejatuhan nilai tukar akan turut mendorong kenaikan harga
pangan.
Logikanya,
kerawanan penghasilan tak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan
kerawanan (ketahanan) pangan. Karena itu, menjamin kestabilan
penghasilan kedua belah pihak, yaitu produsen dan konsumen pangan dapat
menjadi sebuah strategi dan sasaran antara dari sebuah kebijakan
ketahanan pangan nasional yang lebih integral. Bagi para petani sebagai
produsen pangan domestik, perbaikan indeks Nilai Tukar Petani (NTP) (
> 100 %) merupakan sebuah harapan besar bagi perbaikan taraf
kesejahteraan mereka. Karena pada gilirannya penguatan petani dan sektor
pertanian ini akan berkontribusi besar pada jumlah produksi yang bisa
diprediksikan secara baik dan stabil.
Sementara
itu bagi konsumen pangan terutama penduduk miskin yang berdomisili di
perkotaan, diperlukan upaya untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan
pengembangan kapasitas mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih
aman dan bayarannya kebih tinggi atau bagaimana mengembangkan jiwa
kewirusahaan untuk penciptaan lapangan kerja sendiri. Tentu saja, hal
yang tidak boleh dilupakan adalah mempertajam seleksi kelompok target
penerima subsidi pangan.
Selain
itu, upaya memperbaiki penghidupan penduduk miskin perkotaan juga tidak
hanya dilihat sebatas menciptakan lapangan kerja di perkotaan saja.
Sebenarnya kehidupan perkotaan dan pedesaan saling berkaitan dalam sisi
arus barang, jasa dan manusia. Oleh karena itu kemudian strategi
tersebut harus memperhitungkan kompleksitas relasi kota-desa dan
mengintrodusir pemahaman bahwa kondisi pedesaan akan mempengaruhi secara
lansung kehidupan perkotaan.
Penutup
Dengan
pendekatan ini diharapkan berbagai pihak dapat memahami bahwa saat ini
isu besar yang terkait dengan ketahanan pangan adalah bagaimana menjaga
dengan sebaik-baiknya agar hak-hak asasi konsumen dan produsen tidak
terlanggar. Sehingga dapat ditarik benang merah untuk mencari solusi
yang tepat bagi ketahanan pangan, karena bagaimanapun juga, understansing
the problem is a half of solution.
Terus
terang, menentukan “tingkat harga yang layak” terhadap pangan
domestik itu sama susahnya dengan mencari besaran tingkat suku bunga
normal, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah yang berlaku
di dunia perbankan. Semoga saja lahir berbagai kebijakan yang mampu
melindungi sekitar 70 % dari penduduk indonesia yang bekerja dan mencari
penghidupan di sektor pertanian. Merekalah para produsen utama dari
hasil pangan Indonesia. Sementara itu juga diharapkan kebijakan tersebut
tidak menyakiti sebagian besar masyarakat perkotaan Indonesia merupakan
konsumen produk pangan yang juga perlu
mendapatkan harga pangan yang terjangkau. Insya
Allah. Semoga.
0 komentar :
Posting Komentar