Pages

Minggu, 26 Oktober 2014

Kerawanan Pangan Nasional

Davy Hendri 
Republika, 16 Oktober 2002

Tanggal 16 Oktober, diperingati setiap tahun sebagai hari pangan dunia (World Food Day), yang didesain sebagai sebuah momen yang bertujuan untuk menggalang aksi memerangi kelaparan di seluruh dunia. WFD yang ke–22 tahun 2002 ini juga sekaligus memperingati ulang tahun FAO (Food and Agricultural Organization of the United Nations) yang ke-57. 

Dalam konteks kekinian, bagi Indonesia, momen WFD ini menjadi sangat penting artinya bila dikaitkan dengan isu ketahanan pangan. Berbagai peristiwa besar yang tidak menggembirakan telah terjadi di dunia pertanian (pangan) bangsa ini. Mulai dari mencuatnya kenaikan harga pangan domestik akibat hancurnya lahan-lahan pertanian produktif ulah bencana banjir air dan tanah sampai kepada isu terbaru hancurnya tatanan harga pangan dalam negeri karena banjir produk pangan impor. Di satu sisi bertubi-tubi paparan fakta mengenai menurunnya derajat kehidupan petani secara drastis, akibat harga produk pertanian (pangan) yang tidak lagi ekonomis. Namun, di sisi lain kita juga tidak bisa menutup mata atas antrian panjang masyarakat dalam setiap kali operasi pasar yang digelar pemerintah (dalam hal ini BULOG), juga karena masalah harga pangan di pasaran yang tak terjangkau oleh kantong mereka. 

Tanpa maksud menyederhanakan masalah, maka berdasarkan paparan di atas kemudian sangat penting sekali menentukan pada tingkat jumlah dan harga berapa hasil pangan domestik akan mencapai equlibrium, dalam artian bisa diterima oleh produsen maupun konsumen? Namun demikian, tulisan ini dibatasi hanya pada paparan berbagai fakta sekitar berbagai determinan yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan permintaan pangan domestik yang pada gilirannya sekaligus akan menentukan harga pangan tersebut. 

Kaji Ulang Konsep 

Saat ini ada dua pendekatan yang digunakan dalam konsep ketahanan pangan, yaitu pertama, pendekatan sisi produksi dan kedua pendekatan yang lebih holistik. Jika dilihat dari konsep produksi semata maka nyata sekali bahwa kecuali tahun pada tahun 1984, Indonesia tidak pernah lagi mencapai swasembada (surplus beras). Bahkan sejak saat itu sampai sekarang  Indonesia selalu mengalami kekurangan (defisit) dalam penyediaan stok pangan. Sehingga dapat dikatakan ketahanan pangan Indonesia terancam. Bahkan, negara ini sudah dapat digolongkan dalam taraf kekurangan pangan. Semakin rapuhnya ketahanan pangan, dapat dilihat dari semakin besarnya ketergantungan pemenuhan pangan Indonesia dari impor. 


Ketergantungan terhadap impor terlihat pada komoditas beras. Data yang ada pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan menyebutkan impor beras tahun 2001 mencapai 1,5 juta ton, sementara tahun 1997 hanya 349.000 ton. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada kedelai. Impor kedelai yang tahun 1997 sebesar 868.000 ton meningkat menjadi 921.000 ton tahun 2000 dan 1,3 juta ton tahun 2002. Demikian pula untuk gula, gandum, daging sapi, dan unggas. 

Sementara itu, Soekarwati, Guru besar Universitas Brawijaya Malang mempunyai konsep yang berbeda. Beliau menilai, dengan hanya melihat dari konsep produksi maka ketahanan pangan cenderung hanya diartikan sebatas bagaimana memproduksi pangan, khususnya beras, yang cukup dan kalau belum cukup maka bagaimana produksi harus ditingkatkan. Menurut Soekarwati, pernyataan ini bukan saja tidak lengkap, namun juga pengertiannya sempit. 

Ketahanan pangan, pada dasarnya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan (baik untuk rakyat yang tinggal di tempat terpencil atau golongan rakyat miskin) baik dilihat dari aspek kuantitas (produksi), kontinuitas, kualitas, maupun aspek harga yang terjangkau oleh rakyat banyak. Dengan demikian, dalam ketahanan pangan ada aspek produksi, konsumsi, distribusi dan harga yang dihadapi bukan saja oleh produsen, tetapi juga konsumen. Bahkan lebih jauh lagi, dalam analisanya, konsep ketahanan pangan dan implikasi permasalahannya di Indonesia, tidak saja dipengaruhi masalah yang ada di dalam negeri, tetapi juga masalah terkait di luar negeri

Oleh karena itu, perbedaan pendekatan ini, tentunya akan menghasilkan berbagai rekomendasi strategi yang juga berbeda dalam menyikapi masalah ketahanan pangan nantinya. Baiklah, karena tentu akan lebih menarik untuk membicarakan konsep ketahanan pangan dalam spektrum yang lebih luas (holistik), maka  tulisan ini akan coba menguraikannya  secara gamblang. 

Tantangan Globalisasi 

Di era dunia tak berbatas (borderless world) sekarang ini maka pembicarakan tentang ketahahan pangan domestik tentu tidak terlepas dari kerangka globalisasi itu sendiri. Masalah luar negeri ini justru yang relatif sulit dihadapi, karena adanya faktor yang melibatkan tekanan negara lain atau lembaga internasional (pressure groups) di mana Indonesia juga menjadi anggotanya, seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) atau World Trade Organization (WTO) atau bahkan International Monetary Fund (IMF). Faktor-faktor di atas akan sangat mempengaruhi ketahanan pangan bagi masyarakat pertanian sebagai produsen pangan. 

Suatu contoh, komitmen Indonesia dengan IMF pada 15 Januari 1998 lalu mensyaratkan adanya penurunan tarif untuk semua jenis pangan menjadi maksimum lima persen. Ini sesuai kesepakatan perjanjian AFTA untuk komoditas yang tercantum di CEPT (The Common Effective Preferential Tariff). Begitu pula dengan WTO misalnya, di mana Indonesia yang menjadi anggota harus mengikuti kebijakan perdagangan produk-produk pertanian yang mengikuti sistem perdagangan multilateral. Perjanjian di WTO juga mensyaratkan adanya komitmen mengurangi tingkat subsidi ekspor, subsidi domestik dan impor.
Akibatnya, perjanjian di bidang pertanian melahirkan komitmen untuk mengadakan liberalisasi perdagangan dengan komitmen menyusun schedule tariff. Misalnya, rata-rata penurunan tarif produk pertanian bagi negara berkembang selama 10 tahun (1995-2004) sebesar 24 persen. Ini tentu menyulitkan pemerintah Indonesia dalam rangka menetapkan program subsidi guna melindungi petani.

Transformasi Perekonomian 

Masalah dalam negeri, tidaklah kalah kompleksnya. Faktor utama yang harus menjadi kajian adalah kebijakan transformasi struktural (structural transformation) sektor ekonomi dari negara agraris yang bertumpu pada sektor pertanian  menuju negara industri dan jasa modern. Kebijakan ini membawa implikasi pada industrialisasi yang membutuhkan sumber daya dalam jumlah besar, baik manusia, lahan, energi dan modal. Sehingga selama kurang lebih 30 tahun ini terjadilah tarikan secara alami maupun alokasi berbagai resources tadi ke sektor industri.  
 
Saat ini di berbagai negara berkembang (termasuk Indonesia) bisa dilihat tren pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang diramalkan pada tahun 2020, jumlahnya akan meningkat dari 4,9 miliar ke 6,8 miliar (The Unfinished Agenda, IFPRI, 2001). Sebagai konsekuensinya, pertumbuhan jumlah penduduk miskin kota, kerawanan pangan dan kekurangan gizi akibat konversi lahan-lahan pertanian produktif di Jawa dan pagu kredit perbankan yang terkonsentrasi pada sektor industri di perkotaan tentu akan mengiringi proses urbanisasi tersebut. Memang secara keseluruhan, seperti telah dikemukakan oleh Biro Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di perkotaan meningkat dengan tajam, yaitu dari 7,2 juta pada tahun 1996 menjadi paling sedikit 22,6 juta pada Juli tahun 1998 yang merupakan kira-kira 30 %  dari jumlah total penduduk perkotaan di Indonesia dewasa ini. Sebagai contoh, untuk DKI Jakarta saja, lebih dari 60 % penduduknya tinggal di perkampungan-perkampungan kumuh.

Sementara itu, data Bank Indonesia menyebutkan bahwa pada tahun 1999 secara nasional penyaluran kredit perbankan untuk sektor pertanian hanya 9,4 % dari total penyaluran kredit, sisanya lebih 90 % disalurkan ke sektor non-pertanian. Bahkan untuk perkembangan kredit usaha kecil pada tahun 1999 sektor pertanian hanya menyerap 20 % dari total kredit usaha kecil yang berjumlah sekitar 37,2 triliun rupiah, sedangkan sisanya 80 %  diserap oleh sektor industri, perdagangan, jasa, dan lain-lain (Anonim, 1999).
 
Menyiasati  Kerawanan Penghasilan

Beberapa faktor jelas akan mempengaruhi kasus kerawanan pangan penduduk miskin perkotaan. Karena penduduk perkotaan harus membeli sebagian besar dari makanan yang dikonsumsinya maka ketahanan pangan penduduk perkotaan jelas akan sangat tergantung kepada apakah rumah tangga konsumen pangan ini dapat membeli pangan, dengan harga dan tingkat penghasilan yang tertentu (given prices and incomes). Selain itu, berbagai kebijakan makro ekonomi seperti inflasi akibat pengetatan fiskal (pencabutan berbagai subsidi) dan moneter, kejatuhan nilai tukar akan turut mendorong kenaikan harga pangan. 

Logikanya, kerawanan penghasilan tak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan kerawanan (ketahanan) pangan. Karena itu, menjamin kestabilan penghasilan kedua belah pihak, yaitu produsen dan konsumen pangan dapat menjadi sebuah strategi dan sasaran antara dari sebuah kebijakan ketahanan pangan nasional yang lebih integral. Bagi para petani sebagai produsen pangan domestik, perbaikan indeks Nilai Tukar Petani (NTP) ( > 100 %) merupakan sebuah harapan besar bagi perbaikan taraf kesejahteraan mereka. Karena pada gilirannya penguatan petani dan sektor pertanian ini akan berkontribusi besar pada jumlah produksi yang bisa diprediksikan secara baik dan stabil.  
 
Sementara itu bagi konsumen pangan terutama penduduk miskin yang berdomisili di perkotaan, diperlukan upaya untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pengembangan kapasitas mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih aman dan bayarannya kebih tinggi atau bagaimana mengembangkan jiwa kewirusahaan untuk penciptaan lapangan kerja sendiri. Tentu saja, hal yang tidak boleh dilupakan adalah mempertajam seleksi kelompok target penerima subsidi pangan.
Selain itu, upaya memperbaiki penghidupan penduduk miskin perkotaan juga tidak hanya dilihat sebatas menciptakan lapangan kerja di perkotaan saja. Sebenarnya kehidupan perkotaan dan pedesaan saling berkaitan dalam sisi arus barang, jasa dan manusia. Oleh karena itu kemudian strategi tersebut harus memperhitungkan kompleksitas relasi kota-desa dan mengintrodusir pemahaman bahwa kondisi pedesaan akan mempengaruhi secara lansung kehidupan perkotaan.

Penutup

Dengan pendekatan ini diharapkan berbagai pihak dapat memahami bahwa saat ini isu besar yang terkait dengan ketahanan pangan adalah bagaimana menjaga dengan sebaik-baiknya agar hak-hak asasi konsumen dan produsen tidak terlanggar. Sehingga dapat ditarik benang merah untuk mencari solusi yang tepat bagi ketahanan pangan, karena bagaimanapun juga, understansing the problem is a half of solution

Terus terang, menentukan “tingkat harga yang layak” terhadap pangan domestik itu sama susahnya dengan mencari besaran tingkat suku bunga normal, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah yang berlaku di dunia perbankan. Semoga saja lahir berbagai kebijakan yang mampu melindungi sekitar 70 % dari penduduk indonesia yang bekerja dan mencari penghidupan di sektor pertanian. Merekalah para produsen utama dari hasil pangan Indonesia. Sementara itu juga diharapkan kebijakan tersebut tidak menyakiti sebagian besar masyarakat perkotaan Indonesia merupakan konsumen produk pangan yang juga  perlu mendapatkan harga pangan yang terjangkau. Insya Allah. Semoga
 

0 komentar :

Posting Komentar