Pages

Minggu, 26 Oktober 2014

Kemiskinan Memicu Radikalisme?

Davy Hendri dan Nurmina 

“Poverty, or even poverty in the midst of plenty alone is not sufficient to induce high levels of crime. Only when their interaction with other interdependent social and cultural variables is considered, one can explain the association between crime and poverty”.

“Karena Miskin, Jadilah Radikal”. Begitulah Laporan Utama Tabloid Republika  DIALOG JUM’AT, edisi 17 Oktober 2003. Laporan utama itu menyampaikan hasil konferensi The Jakarta International Islamic Conference dengan tema “Strategi da’wah Menuju Ummatan Wasathan Dalam Menghadapi Radikalisme” yang diadakan pada tanggal 13 – 15 Oktober 2003  lalu. 

Konferensi itu ditujukan untuk mencari akar penyebab dari kekerasan (radikalisme) yang dituduhkan pada kalangan ummat Islam pada akhir-akhir ini.  Sebuah tuduhan yang mencuat dari tertangkapnya para pelaku yang diafiliasikan dengan gerakan Islam radikal dan terkait dengan terorisme global, dalam berbagai rangkaian aksi bom yang telah merenggut banyak jiwa di tanah air belakangan ini, mulai dari bom malam Natal, Legian Bali dan terakhir Marriot.  
 
Konferensi itu kemudian menyimpulkan bahwa  salah satu akar permasalahan radikalisme pada ummat islam adalah kemiskinan yang menjerat mereka. Fakta menunjukkan bahwa meski negara yang berpenduduk mayoritas Islam memiliki kekayaan alam hingga 80 % ternyata penguasaan ekonomi secara riil hanya 5 %. 
Dari pemahaman terhadap akar permasalahan itu kemudian direkomendasikan beberapa poin penting bagi strategi da’wah ke depan untuk mencitrakan Islam yang ramah dan penuh toleransi. Salah satu poin penting itu adalah perlunya upaya peningkatan kualitas pendidikan dan SDM ummat yang diimplemantasikan dalam bentuk kurikulum atau materi pengajaran Islam yang rahmatan lil alamiin.

Penulis termasuk bahagian dari ummat yang menyambut baik terselenggaranya konferensi itu. Namun ijinkanlah di sini penulis memberikan sedikit catatan dan masukan terkait dengan rekomendasi konferensi tersebut. Atau lebih tepatnya mempertanyakannya.

Penyederhanaan Masalah

Radikalisme atau kekerasan dengan berbagai motivnya pada dasarnya dapat menjelma dalam berbagai cara. Kekerasan itu bisa berbentuk kejahatan terhadap harta (property crime) ataupun diri (violent crime). Nah, untuk memudahkan pengertian ada baiknya dalam hal ini untuk selanjutnya kita memproxikan  radikalisme itu dalam bentuk yang sederhana sebagai sebuah kejahatan (yang luar biasa) terhadap harta. 

Terkait dengan itu, secara logika kita cendrung berpendapat bahwa hanya orang-orang yang miskinlah yang akan melakukan tindak kekerasan. Nah, kebetulan pula pada saat ini umat Islam adalah ummat yang pada dirinya melekat segala ciri keterbelakangan. Mulai dari rendahnya derajat kesehatan, stagnannya tingkat pembangunan dan tingkat kemiskinan yang parah sampai kepada demokratisasi yang masih dalam impian. Jadi, kedua premis ini bermuara pada tesis bahwa ummat Islamlah yang melakukan berbagai kekerasan tersebut sebagai buah dari rasa frustasi dari kemalangan nasibnya dirinya sendiri. 

Memang kelihatannya tidak ada yang salah dengan tesis ini. Namun satu hal yang harus kita waspadai bahwa terkadang tesis (kesimpulan) yang ditarik dari premis-premis dengan melupakan determinan-determinan lain dari penyebabnya, bisa jadi menyesatkan. Oleh karena itu, galibnya dalam dunia akademis sebuah tesis yang mengarah kepada pembentukan teori haruslah di uji cobakan terlebih dahulu dengan berbagai variasi situasi dan kondisi. Jika tesis itu telah terrbukti tahan uji barulah kemudian digeneralisir menjadi sebuah teori. 

Nah, untuk sebuah test case marilah kita uji tesis tadi dengan sebuah pertanyaan berikut : Apakah kejahatan terhadap harta (semisal perampokan dan pencurian dengan kekerasan) tetap akan terjadi di suatu daerah jika semua masyarakatnya  rata-rata miskin ?. Atau sebaliknya. Apakah kita yakin bahwa seseorang tidak akan melakukan kejahatan harta terhadap tetangga lainnya yang rata-rata lebih kaya walaupun dia sendiri sudah tergolong cukup kaya ?. Jawabannya, mungkin TIDAK. 

Dari uraian di atas kita bisa melihat secara jernih bahwa ternyata ada sebuah faktor lain yang menjadi kontrol (control variable) terhadap berlakunya tesis di atas, yaitu kesenjangan (inequality). Dalam hal ini, kesenjangan itu adalah kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi antara pelaku kejahatan tadi dengan tingkat keksejahteraan rata-rata masyarakat di daerah sekitarnya. Semakin besar kesenjangan maka semakin tinggilah tingkat kejahatan. 

Jadi, sebenarnya faktor ekonomi per se yaitu kemiskinan semata tidaklah cukup (sufficient condition) untuk menyebabkan terjadinya sebuah kejahatan dan kekerasan. Faktor kesenjangan merupakan sebuah prasyarat (necessary condition) untuk berlakunya tesis tadi. Nah, dari paparan di atas kemudian kita berani mengatakan bahwa tesis yang menyatakan bahwa umat Islam yang miskin kemudian akan menjadi sumber dari radikalisme merupakan buah dari pemikiran yang tidak dikaji secara mendalam dan cendrung terlalu menyederhanakan masalah (over simplified)

Kejahatan dan Kesenjangan Lokal

Gabriel Demombynes dan Berk Ozler dalam artikelnya, Crime and Local Inequality (World Bank, 2002), memberikan paparan yang menarik tentang hubungan antara kesenjangan lokal dengan kejahatan terhadap harta (property crime) dan kekerasan terhadap diri (violent crime).  Dalam studinya (tidak disebutkan tahunnya) di Afrika Selatan, mereka menemukan fakta bahwa tingkat perampokan dilaporkan lebih tinggi 20–30 %  di wilayah hukum kepolisian pada daerah yang lebih kaya dibandingkan dengan  wilayah sekitarnya.  Temuan ini konsisten dengan teori ekonomi terkait dengan hubungan antara kesenjangan dengan kejahatan terhadap harta benda dan teori sosial tentang kesenjangan yang memicu kejahatan secara umum.

Menurut para ahli ekonomi, sosiolog dan pakar kesehatan masyarakat, ada beberapa alasan mengapa distribusi kesejahteraan ekonomi pada level lokal berkaitan dengan kecendrungan kejahatan.

Pertama, ukuran kesejahteraan masyarakat mungkin berkaitan dengan tingkat kejahatan terkait dengan output yang diharapkan dari  aktivitas kejahatan dibandingkan dengan non-kejahatan. Dalam hal ini manfaat relatif dari kejahatan akan ditentukan oleh rentang rata-rata pendapatan rumah tangga masyarakat dan  rumah tangga yang termiskin di daerah itu. Hal ini berarti bahwa perkiraan tingkat kejahatan akan lebih tinggi di daerah yang kesenjangannya juga tinggi, karena adanya insentif ekonomi tadi (Chiu and Madden, 1998 dan Bourguignon, 2001).

Kedua, kesejahteraan ekonomi lokal mungkin berkaitan dengan level proteksi terhadap kejahatan. Pradhan dan Ravallion (1998) mengatakan bahwa kesenjangan bisa berkorelasi positif dengan kejahatan jika kepedulian terhadap keamanan publik pada level rumah tangga merupakan fungsi cekung (negatif) dari pendapatan. Dalam artian, semakin kaya seseorang maka kepeduliannya terhadap keamanan lingkungan sekitar akan semakin berkurang. Oleh karenanya hal ini akan menyebabkan hubungan negatif antara kepedulian terhadap keamanan publik dan kesenjangan secara agregat. Jadi upaya pengamanan kolektif seperti ronda malam di daerah yang sosial capitalnya tinggi jelas diharapkan akan dapat menekan tingkat kejahatan.

Ketiga, disorganisasi sosial dan kejahatan. Merton (1938) menyatakan bahwa “…when a system of cultural values emphasizes, virtually above all else, certain common symbols of success for the population at large while its social structure rigorously restrict or completely eliminates access to approved modes of acquiring these symbols for a considerable part of the same population, that antisocial  behaviour ensues on a considerable scale.” Adanya perlakuan yang tidak sama seperti perbedaan hak akses pada kelompok masyarakat tertentu untuk mencapai  ukuran kesuksesan yang telah disepakati bersama akan memicu berbagai perilaku antisosial. 

Oleh karenanya kemiskinan saja, atau bahkan kemiskinan relativ pada kelas masyarakat yang berada, tidaklah cukup untuk menimbulkan tingkat kejahatan  yang tinggi. Hanya jika interaksinya dengan variabel-variabel sosial dan budaya yang saling berkaitan di perhitungkan maka barulah seseorang dapat menjelaskan hubungan antara kejahatan dan kemiskinan. 

Kesimpulan

Selain dari kesusahan dan kerugian yang diderita oleh korban maka kejahatan juga menimbulkan biaya yang tidak sedikit. Ancaman kejahatan menyebabkan pengalihan sumber daya untuk upaya-upaya pencegahan, biaya kesehatan nyata melalui meningkatnya stress di tengah masyarakat dan secara umum akan menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi aktivitas-aktivitas produktif. Pada beberapa kasus besar, hal ini memaksa masyarakat untuk melarikan diri dengan jalan berimigrasi  Pada akhirnya hal ini akan memperkecil tingkat investasi dan menahan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.  
 
Oleh karena itu sebagai sebuah rekomendasi maka langkah konkrit yang harus dilakukan ummat adalah semakin memperkecil jurang kesenjangan kesejahteraan. Hal ini salah satunya dapat dilakukan dengan strategi memperkuat kembali sosial capital atau jalinan solidaritas yang ada pada berbagai level. Justru hal inilah yang selama ini sering ditinggalkan dan memerlukan perbaikan di masa depan. 

Jadi marilah kita sesama muslim berhenti menyalahkan pihak lain (terutama masyarakat miskin) atas semua kasus-kasus kejahatan-kejahatan yang telah terjadi. Cobalah untuk aktif menyalahkan diri kita sendiri. Arahkan telunjuk ke arah diri kita sendiri. Kenapa kita sering berlaku tidak adil atau minimal membiarkan perlakuan kesenjangan (ketidak adilan) itu bersimaharajalela di depan hidung kita ?

Tentunya, dalam atmosfir Ramadhan kali ini hendaknya umat merenungkan kembali makna kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin terasa melebar dan mendayagunakan upaya untuk selalu menyantuni si miskin (the Have Not) dengan kelebihan kekayaannya. Wallahu ‘alam bi Shawab

0 komentar :

Posting Komentar