Davy Hendri dan Nurmina
“Poverty, or even poverty
in the midst of plenty alone is not sufficient to induce high levels
of crime. Only when their interaction with other interdependent social
and cultural variables is considered, one can explain the association
between crime and poverty”.
“Karena Miskin, Jadilah
Radikal”. Begitulah Laporan Utama Tabloid Republika
DIALOG JUM’AT, edisi 17 Oktober 2003. Laporan utama itu
menyampaikan hasil konferensi The Jakarta International Islamic
Conference dengan tema “Strategi da’wah Menuju Ummatan Wasathan
Dalam Menghadapi Radikalisme” yang diadakan pada tanggal 13 – 15
Oktober 2003 lalu.
Konferensi itu ditujukan untuk
mencari akar penyebab dari kekerasan (radikalisme) yang dituduhkan pada
kalangan ummat Islam pada akhir-akhir ini.
Sebuah tuduhan yang mencuat dari tertangkapnya para pelaku yang
diafiliasikan dengan gerakan Islam radikal dan terkait dengan terorisme
global, dalam berbagai rangkaian aksi bom yang telah merenggut banyak
jiwa di tanah air belakangan ini, mulai dari bom malam Natal, Legian
Bali dan terakhir Marriot.
Konferensi itu kemudian
menyimpulkan bahwa salah
satu akar permasalahan radikalisme pada ummat islam adalah kemiskinan
yang menjerat mereka. Fakta menunjukkan bahwa meski negara yang
berpenduduk mayoritas Islam memiliki kekayaan alam hingga 80 % ternyata
penguasaan ekonomi secara riil hanya 5 %.
Dari pemahaman terhadap akar
permasalahan itu kemudian direkomendasikan beberapa poin penting bagi
strategi da’wah ke depan untuk mencitrakan Islam yang ramah dan penuh
toleransi. Salah satu poin penting itu adalah perlunya upaya peningkatan
kualitas pendidikan dan SDM ummat yang diimplemantasikan dalam bentuk
kurikulum atau materi pengajaran Islam yang rahmatan lil alamiin.
Penulis termasuk
bahagian dari ummat yang menyambut baik terselenggaranya konferensi itu.
Namun ijinkanlah di sini penulis memberikan sedikit catatan dan masukan
terkait dengan rekomendasi konferensi tersebut. Atau lebih tepatnya
mempertanyakannya.
Penyederhanaan Masalah
Radikalisme atau kekerasan dengan
berbagai motivnya pada dasarnya dapat menjelma dalam berbagai cara.
Kekerasan itu bisa berbentuk kejahatan terhadap harta (property crime)
ataupun diri (violent crime). Nah, untuk memudahkan pengertian
ada baiknya dalam hal ini untuk selanjutnya kita memproxikan
radikalisme itu dalam bentuk yang sederhana sebagai sebuah
kejahatan (yang luar biasa)
terhadap harta.
Terkait dengan itu, secara logika
kita cendrung berpendapat bahwa hanya orang-orang yang miskinlah yang
akan melakukan tindak kekerasan. Nah, kebetulan pula pada saat ini umat
Islam adalah ummat yang pada dirinya melekat segala ciri
keterbelakangan. Mulai dari rendahnya derajat kesehatan, stagnannya
tingkat pembangunan dan tingkat kemiskinan yang parah sampai kepada
demokratisasi yang masih dalam impian. Jadi, kedua premis ini bermuara
pada tesis bahwa ummat Islamlah yang melakukan berbagai kekerasan
tersebut sebagai buah dari rasa frustasi dari kemalangan nasibnya
dirinya sendiri.
Memang kelihatannya tidak ada yang
salah dengan tesis ini. Namun satu hal yang harus kita waspadai bahwa
terkadang tesis (kesimpulan) yang ditarik dari premis-premis dengan
melupakan determinan-determinan lain dari penyebabnya, bisa jadi
menyesatkan. Oleh karena itu, galibnya dalam dunia akademis sebuah tesis
yang mengarah kepada pembentukan teori haruslah di uji cobakan terlebih
dahulu dengan berbagai variasi situasi dan kondisi. Jika tesis itu telah
terrbukti tahan uji barulah kemudian digeneralisir menjadi sebuah teori.
Nah, untuk sebuah test case marilah
kita uji tesis tadi dengan sebuah pertanyaan berikut : Apakah kejahatan
terhadap harta (semisal perampokan dan pencurian dengan kekerasan) tetap
akan terjadi di suatu daerah jika semua masyarakatnya rata-rata miskin ?. Atau sebaliknya. Apakah kita yakin bahwa
seseorang tidak akan melakukan kejahatan harta terhadap tetangga lainnya
yang rata-rata lebih kaya walaupun dia sendiri sudah tergolong cukup
kaya ?. Jawabannya, mungkin TIDAK.
Dari uraian di atas kita bisa
melihat secara jernih bahwa ternyata ada sebuah faktor lain yang menjadi
kontrol (control variable) terhadap berlakunya tesis di atas,
yaitu kesenjangan (inequality). Dalam hal ini, kesenjangan itu
adalah kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi antara pelaku kejahatan
tadi dengan tingkat keksejahteraan rata-rata masyarakat di daerah
sekitarnya. Semakin besar kesenjangan maka semakin tinggilah tingkat
kejahatan.
Jadi, sebenarnya faktor ekonomi per se yaitu kemiskinan semata tidaklah cukup (sufficient condition) untuk menyebabkan terjadinya sebuah kejahatan dan kekerasan. Faktor kesenjangan merupakan sebuah prasyarat (necessary condition) untuk berlakunya tesis tadi. Nah, dari paparan di atas kemudian kita berani mengatakan bahwa tesis yang menyatakan bahwa umat Islam yang miskin kemudian akan menjadi sumber dari radikalisme merupakan buah dari pemikiran yang tidak dikaji secara mendalam dan cendrung terlalu menyederhanakan masalah (over simplified)
Jadi, sebenarnya faktor ekonomi per se yaitu kemiskinan semata tidaklah cukup (sufficient condition) untuk menyebabkan terjadinya sebuah kejahatan dan kekerasan. Faktor kesenjangan merupakan sebuah prasyarat (necessary condition) untuk berlakunya tesis tadi. Nah, dari paparan di atas kemudian kita berani mengatakan bahwa tesis yang menyatakan bahwa umat Islam yang miskin kemudian akan menjadi sumber dari radikalisme merupakan buah dari pemikiran yang tidak dikaji secara mendalam dan cendrung terlalu menyederhanakan masalah (over simplified)
Kejahatan dan Kesenjangan Lokal
Gabriel Demombynes dan
Berk Ozler dalam artikelnya, Crime and Local Inequality
(World Bank, 2002), memberikan paparan yang menarik tentang hubungan
antara kesenjangan lokal dengan kejahatan terhadap harta (property
crime) dan kekerasan terhadap diri (violent crime).
Dalam studinya (tidak disebutkan tahunnya) di Afrika Selatan,
mereka menemukan fakta bahwa tingkat perampokan dilaporkan lebih tinggi
20–30 % di wilayah hukum
kepolisian pada daerah yang lebih kaya dibandingkan dengan
wilayah sekitarnya. Temuan
ini konsisten dengan teori ekonomi terkait dengan hubungan antara
kesenjangan dengan kejahatan terhadap harta benda dan teori sosial
tentang kesenjangan yang memicu kejahatan secara umum.
Menurut para ahli ekonomi, sosiolog
dan pakar kesehatan masyarakat, ada beberapa alasan mengapa distribusi
kesejahteraan ekonomi pada level lokal berkaitan dengan kecendrungan
kejahatan.
Pertama,
ukuran kesejahteraan masyarakat mungkin berkaitan dengan tingkat
kejahatan terkait dengan output yang diharapkan dari
aktivitas kejahatan dibandingkan dengan non-kejahatan. Dalam hal
ini manfaat relatif dari kejahatan akan ditentukan oleh rentang
rata-rata pendapatan rumah tangga masyarakat dan
rumah tangga yang termiskin di daerah itu. Hal ini berarti bahwa
perkiraan tingkat kejahatan akan lebih tinggi di daerah yang
kesenjangannya juga tinggi, karena adanya insentif ekonomi tadi (Chiu
and Madden, 1998 dan Bourguignon, 2001).
Kedua, kesejahteraan ekonomi lokal mungkin berkaitan dengan level
proteksi terhadap kejahatan. Pradhan dan Ravallion (1998) mengatakan
bahwa kesenjangan bisa berkorelasi positif dengan kejahatan jika
kepedulian terhadap keamanan publik pada level rumah tangga merupakan
fungsi cekung (negatif) dari pendapatan. Dalam artian, semakin kaya
seseorang maka kepeduliannya terhadap keamanan lingkungan sekitar akan
semakin berkurang. Oleh karenanya hal ini akan menyebabkan hubungan
negatif antara kepedulian terhadap keamanan publik dan kesenjangan
secara agregat. Jadi upaya pengamanan kolektif seperti ronda malam di
daerah yang sosial capitalnya tinggi jelas diharapkan akan dapat menekan
tingkat kejahatan.
Ketiga, disorganisasi sosial dan kejahatan. Merton (1938)
menyatakan bahwa “…when a system of cultural values emphasizes,
virtually above all else, certain common symbols of success for the
population at large while its social structure rigorously restrict or
completely eliminates access to approved modes of acquiring these
symbols for a considerable part of the same population, that antisocial
behaviour ensues on a considerable scale.” Adanya perlakuan
yang tidak sama seperti perbedaan hak akses pada kelompok masyarakat
tertentu untuk mencapai ukuran
kesuksesan yang telah disepakati bersama akan memicu berbagai perilaku
antisosial.
Oleh karenanya kemiskinan saja, atau bahkan kemiskinan
relativ pada kelas masyarakat yang berada, tidaklah cukup untuk
menimbulkan tingkat kejahatan yang
tinggi. Hanya jika interaksinya dengan variabel-variabel sosial dan
budaya yang saling berkaitan di perhitungkan maka barulah seseorang
dapat menjelaskan hubungan antara kejahatan dan kemiskinan.
Kesimpulan
Selain dari kesusahan dan kerugian
yang diderita oleh korban maka kejahatan juga menimbulkan biaya yang
tidak sedikit. Ancaman kejahatan menyebabkan pengalihan sumber daya
untuk upaya-upaya pencegahan, biaya kesehatan nyata melalui meningkatnya
stress di tengah masyarakat dan secara umum akan menciptakan kondisi
yang tidak kondusif bagi aktivitas-aktivitas produktif. Pada beberapa
kasus besar, hal ini memaksa masyarakat untuk melarikan diri dengan
jalan berimigrasi Pada
akhirnya hal ini akan memperkecil tingkat investasi dan menahan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Oleh karena itu sebagai sebuah
rekomendasi maka langkah konkrit yang harus dilakukan ummat adalah
semakin memperkecil jurang kesenjangan kesejahteraan. Hal ini salah
satunya dapat dilakukan dengan strategi memperkuat kembali sosial
capital atau jalinan solidaritas yang ada pada berbagai level. Justru
hal inilah yang selama ini sering ditinggalkan dan memerlukan perbaikan
di masa depan.
Jadi marilah kita sesama muslim
berhenti menyalahkan pihak lain (terutama masyarakat miskin) atas semua
kasus-kasus kejahatan-kejahatan yang telah terjadi. Cobalah untuk aktif
menyalahkan diri kita sendiri. Arahkan telunjuk ke arah diri kita
sendiri. Kenapa kita sering berlaku tidak adil atau minimal membiarkan
perlakuan kesenjangan (ketidak adilan) itu bersimaharajalela di depan
hidung kita ?
0 komentar :
Posting Komentar