Dalam tataran wacana, perbincangan mengenai berbagai alternatif sistim
ekonomi sebenarnya sudah lama mengemuka. Sejarah pemikiran ekonomipun
mencatat hal itu sebagai sebuah kelaziman dalam pencarian kesempurnaan
ilmu menuju hakikat kebenaran. Berbagai pemikir ekonomi telah muncul
silih berganti dengan tawaran konsep yang kadangkala berbeda dan
kadangkala seiring dengan konsep yang dibawa pendahulunya. Bila Adam
Smith dikenal sebagai peletak dasar konsep ekonomi pasar bebas
(kapitalis) dengan bukunya The Wealth of Nations, maka Karl
Marx dikenal sebagai pencetus ide sosialisme dengan karyanya Das
Capital, sebagai sebuah antitesis dari konsep Adam Smith.
Selama ini proses perbaikan terhadap
berbagai kelemahan yang ditemukan pada konsep-konsep ekonomi yang
terdahulu menuju kesempurnaan tersebut, dilakukan melalui proses
dialektika materialisme. Sesuai dengan ciri dasarnya, ilmu ekonomi
merupakan ilmu sosial. Sebuah cabang ilmu sosial selalu memiliki ruang
untuk perubahan dan pengembangan yang dalam prosesnya tentu saja dapat
mengkombinasikan berbagai aliran pemikiran yang berbeda.
Kritik terhadap Sistem
Oleh karenanya, walaupun sistem ekonomi
modern (ekonomi kapitalis) telah diletakkan dasar-dasarnya sejak
beberapa abad yang lalu, namun tidak ada jaminan bahwa sistem itu
merupakan satu-satunya sistem ekonomi yang pernah ada dan sebagai
alternatif yang terbaik. Berbagai pengulangan kegagalan dari sistem
ekonomi dan keuangan konvensional ; yang kadangkala terlihat dalam
krisis ekonomi di Amerika Latin, kadangkala muncul sebagai bentuk krisis
ekonomi di Asia, yang pada akhirnya memicu krisis ekonomi global;
sebenarnya lebih merupakan sebuah fenomena puncak gunung es dari
berbagai kelemahan asumsi-asumsi dasar yang menyusun konsep ekonomi itu
sendiri.
Isu defisit anggaran belanja dan tidak
berfungsinya sistem negara-kesejahteraan (welfare-state) hanyalah
merupakan akibat sampingan atau isu-isu marginal yang tak terelakkan
dari tidak diselesaikannya beberapa permasalahan fundamental sistem
ekonomi secara sempurna dalam waktu yang lama. Mengapa kita tidak dapat
menyelesaikan secara tepat waktu dan sepantasnya berbagai masalah
ekonomi, moneter, keuangan, fiskal dan permasalahan sosial kontemporer,
selama ini ? Itulah sebuah pertanyaan penting yang dilontarkan dewasa
ini, akibat akumulasi berbagai kegagalan sistim ekonomi kapitalis.
Pertanyaan-pertanyaan kritis tentang
keampuhan sistem ekonomi kapitalis (konvensional) itu kemudian menjelma
menjadi kebutuhan akan sebuah konsep pemikiran ekonomi global yang baru.
Kemunculan fenomena ini sangat kuat, lebih dari yang sebelumnya. Anghel
N. Rugina, seorang mantan profesor ekonomi dan keuangan, dan ketua
tim penasehat ekonomi gubernur negara bagian Massachussets, mengatakan
bahwa sebenarnya kita telah kehilangan momentum sejak tahun 1970-an
dalam mempertanyakan hal ini. Ia mengusulkan 10 langkah reformasi
struktural sistem perekonomian yang harus secepatnya dilakukan oleh
negara-negara rejim kapitalisme (Anghel N. Rugina, International
Journal of Social Economics, Vol 26, 1999).
Sesaat setelah Perang Dunia II
kelihatannya teori makro-moneter dan kebijakan fiskal Keynesian
bekerja dengan baik. Ide yang berlaku, bahwa dengan sedikit inflasi yang
dirangkai dengan keajaiban efek Multiplier Keynes maka pemerintah
akan dapat menjaga tingkat pengangguran supaya tetap rendah. Ide Keynes
ini diperkuat oleh penemuan kurva Phillips pada tahun 1958.
Kesempatan untuk memperbaiki kesalahan
metodologi tua ini, sebenarnya terbuka ketika titik balik terjadi pada
tahun 1970-an, terutama ketika kurva Phillips dinegasikan (dibantah)
oleh kenyataan terjadinya trend yang paralel antara inflasi dan
pengangguran. Trend ini lebih dikenal sebagai fenomena unik dengan
sebutan stagflasi, yaitu terjadinya inflasi dan pengangguran pada saat
yang bersamaan. Dengan kejadian ini, kurva Phillips sebenarnya telah
mati dan begitu juga dengan konsep makro-moneter dan kebijakan fiskal
tradisional Keynes.
Prinsip The Impossibility Theorem in
Practise, kemudian bisa menunjukkan terjadinya kebuntuan ini.
Prinsip ini mengatakan bahwa: bauran sebuah sistim ekonomi, yang terdiri
dari elemen-elemen equlibrium dan disequlibrium,
praktek-praktek, pasar-pasar, institusi-institusi dan di mana uang
kertas dan kredit bank digunakan di dalam jumlah yang besar, adalah
sangat tidak mungkin untuk mengkalkulasi dan mengimplementasikan secara
institusi pada setiap waktu yang tertentu, kestabilan equilibrium
dari sirkulasi supply moneter, konsisten secara bersamaan dengan
stabilitas harga, tingkat penggunaan tenaga tenaga kerja penuh, anggaran
negara yang seimbang, neraca pembayaran luar negeri yang seimbang serta
distribusi pendapatan nasional yang adil, sejauh yang memungkinkan.
Philosophy of Economics
Theorem Quinta Methodica
mengatakan bahwa seluruh permasalahan ilmu ekonomi dapat dirangkum dalam
5 kategori dasar. Pertama, sejarah dan statistik. Kedua,
teoritis atau analisis. Ketiga, etika atau moral. Keempat,
kebijakan . Dan kelima, doktrin (sejarah pemikiran ekonomi).
Jika identitas kelima ilmu ekonomi yang
berkaitan namun merupakan sebuah cabang tersendiri ini dikenali dengan
baik, maka banyak pertentangan (yang tidak seharusnya terjadi) dapat
dihindari di masa-masa yang telah lalu dan akan datang. Seperti halnya
pertentangan tradisional antara penyokong ilmu ekonomi positif dan
normatif. Dalam pandangan para ahli ekonomi, ilmu ekonomi pada dasarnya
dapat dibagi menjadi dua bagian pendekatan. Pertama, Science of
Economics. Kedua, Philosophy of Economics.
Science of economics
atau ekonomi positif berisi pernyataan tentang fakta-fakta yang wujud di
dalam masyarakat. Oleh sebab itu kebenarannya dapat dibuktikan dengan
pendekatan logistik dengan memperhatikan kenyataan yang wujud melalui
penggunaan berbagai alat-alat analisa ekonomi (tools). Sedangkan Philosophy
of economics atau ekonomi normatif mengemukakan pendapat mengenai
apa yang sebaiknya harus wujud, sehingga lebih mengandung muatan nilai
atau value judgement.
P.A. Samuelson,
seorang guru besar ekonomi dari MIT, Amerika Serikat dan penerima Nobel
bidang ekonomi pada tahun 1970, mengatakan bahwa pernyataan normatif
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang irrasional seperti faktor
filsafat, kebudayaan dan agama. Oleh karenanya kebenaran pernyataan
normatif tidak bisa dibuktikan dengan melihat pada kenyataan dan
dianggap sebagai gangguan dalam praktik manajamen, bisnis dan
pembangunan. Karena persepsi ini kemudian para ekonom memilih untuk
meninggalkan analisa normatif (etika) dari konsep pemikiran ekonomi
mereka, dan semakin lama semakin menjauh. Pola pemikiran ekonomi
(positif) dengan pendekatan logistik inilah yang kemudian menjelma
menjadi landasan perkembangan pola pemikiran utama (mainstream)
dan membentuk sistim perekonomian global.
Namun tidak demikian halnya menurut Amartya
Sen. Ekonom sekaligus filosof dari Harvard University, Amerika
Serikat, yang juga pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1998 itu
mengatakan bahwa perlu dibangun kontak yang lebih dekat antara etika dan
ekonomi. Kontak ini akan berguna bagi perkembangan filsafat etika maupun
ilmu ekonomi itu sendiri. Banyak masalah etika, seperti disimpulkannya,
mengandung hal yang disebut aspek "rekayasa" (engineering)
dan sebagian sebenarnya menyangkut hubungan-hubungan ekonomi.
Ia berpendapat, jarak yang semakin jauh
antara etika dan ekonomi telah sangat memperlemah dan memiskinkan konsep
ekonomi kesejahteraan bahkan sangat banyak memperlemah dasar-dasar
ekonomi deskriptif dan preskriptif. Lebih jauh menurut
Sen, pertimbangan-pertimbangan etis yang mempengaruhi perilaku manusia
adalah aspek sentral etika. Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan
ekonomi kesejahteraan mestinya diberi kesempatan untuk memberikan
pengaruh terhadap perilaku yang nyata, dan selanjutnya tentu akan
relevan juga bagi ilmu ekonomi logistik (positif).
Penutup
Pemberian Nobel bidang ekonomi kepada Amartya
Sen, selain secara eksplisit menunjukkan keberhasilan karirnya
secara pribadi, secara implisit juga menyiratkan pengakuan akan konsep
baru yang ditawarkannya oleh masyarakat dunia ilmu ekonomi modern.
Jika dua revolusi pemikiran ekonomi
sebelumnya (Klasik yang digagas oleh Adam Smith dan Modern yang
digagas oleh John Maynard Keynes) telah berlalu masanya, maka
berarti sebuah peluang dan ruang yang luas untuk sebuah konsep baru guna
memperbaiki berbagai konsep ekonomi yang tidak cocok dan telah lapuk
dimakan zaman tadi. Konsep baru itu terbuka lebar di depan mata !. Ruang
untuk perbaikan itulah yang sekarang ini menjadi momentum awal bagi
berkembangnya kembali konsep ekonomi Islam.
Terkait pada sistem ekonomi Islam,
perbedaannya dengan ekonomi konvensional sebenarnya lebih terletak pada philosophy
of economics, bukan pada science of economics. Philosophy
of economics atau etika berekonomi sebagaimana disebut Amartya
Sen inilah yang memberikan ruh pemikiran dengan nilai-nilai Islam
dan batasan-batasan syari'ah pada sistim yang dibangun.
0 komentar :
Posting Komentar