Pages

Minggu, 26 Oktober 2014

Menuju Revolusi Ketiga Konsep Ekonomi ?

Davy Hendri

Dalam tataran wacana, perbincangan mengenai berbagai alternatif sistim ekonomi sebenarnya sudah lama mengemuka. Sejarah pemikiran ekonomipun mencatat hal itu sebagai sebuah kelaziman dalam pencarian kesempurnaan ilmu menuju hakikat kebenaran. Berbagai pemikir ekonomi telah muncul silih berganti dengan tawaran konsep yang kadangkala berbeda dan kadangkala seiring dengan konsep yang dibawa pendahulunya. Bila Adam Smith dikenal sebagai peletak dasar konsep ekonomi pasar bebas (kapitalis) dengan bukunya The Wealth of Nations, maka Karl Marx dikenal sebagai pencetus ide sosialisme dengan karyanya Das Capital, sebagai sebuah antitesis dari konsep Adam Smith.
 
Selama ini proses perbaikan terhadap berbagai kelemahan yang ditemukan pada konsep-konsep ekonomi yang terdahulu menuju kesempurnaan tersebut, dilakukan melalui proses dialektika materialisme. Sesuai dengan ciri dasarnya, ilmu ekonomi merupakan ilmu sosial. Sebuah cabang ilmu sosial selalu memiliki ruang untuk perubahan dan pengembangan yang dalam prosesnya tentu saja dapat mengkombinasikan berbagai aliran pemikiran yang berbeda.

Kritik terhadap Sistem

Oleh karenanya, walaupun sistem ekonomi modern (ekonomi kapitalis) telah diletakkan dasar-dasarnya sejak beberapa abad yang lalu, namun tidak ada jaminan bahwa sistem itu merupakan satu-satunya sistem ekonomi yang pernah ada dan sebagai alternatif yang terbaik. Berbagai pengulangan kegagalan dari sistem ekonomi dan keuangan konvensional ; yang kadangkala terlihat dalam krisis ekonomi di Amerika Latin, kadangkala muncul sebagai bentuk krisis ekonomi di Asia, yang pada akhirnya memicu krisis ekonomi global; sebenarnya lebih merupakan sebuah fenomena puncak gunung es dari berbagai kelemahan asumsi-asumsi dasar yang menyusun konsep ekonomi itu sendiri.


Isu defisit anggaran belanja dan tidak berfungsinya sistem negara-kesejahteraan (welfare-state) hanyalah merupakan akibat sampingan atau isu-isu marginal yang tak terelakkan dari tidak diselesaikannya beberapa permasalahan fundamental sistem ekonomi secara sempurna dalam waktu yang lama. Mengapa kita tidak dapat menyelesaikan secara tepat waktu dan sepantasnya berbagai masalah ekonomi, moneter, keuangan, fiskal dan permasalahan sosial kontemporer, selama ini ? Itulah sebuah pertanyaan penting yang dilontarkan dewasa ini, akibat akumulasi berbagai kegagalan sistim ekonomi kapitalis.

Pertanyaan-pertanyaan kritis tentang keampuhan sistem ekonomi kapitalis (konvensional) itu kemudian menjelma menjadi kebutuhan akan sebuah konsep pemikiran ekonomi global yang baru. Kemunculan fenomena ini sangat kuat, lebih dari yang sebelumnya. Anghel N. Rugina, seorang mantan profesor ekonomi dan keuangan, dan ketua tim penasehat ekonomi gubernur negara bagian Massachussets, mengatakan bahwa sebenarnya kita telah kehilangan momentum sejak tahun 1970-an dalam mempertanyakan hal ini. Ia mengusulkan 10 langkah reformasi struktural sistem perekonomian yang harus secepatnya dilakukan oleh negara-negara rejim kapitalisme (Anghel N. Rugina, International Journal of Social Economics, Vol 26, 1999).

Sesaat setelah Perang Dunia II kelihatannya teori makro-moneter dan kebijakan fiskal Keynesian bekerja dengan baik. Ide yang berlaku, bahwa dengan sedikit inflasi yang dirangkai dengan keajaiban efek Multiplier Keynes maka pemerintah akan dapat menjaga tingkat pengangguran supaya tetap rendah. Ide Keynes ini diperkuat oleh penemuan kurva Phillips pada tahun 1958.

Kesempatan untuk memperbaiki kesalahan metodologi tua ini, sebenarnya terbuka ketika titik balik terjadi pada tahun 1970-an, terutama ketika kurva Phillips dinegasikan (dibantah) oleh kenyataan terjadinya trend yang paralel antara inflasi dan pengangguran. Trend ini lebih dikenal sebagai fenomena unik dengan sebutan stagflasi, yaitu terjadinya inflasi dan pengangguran pada saat yang bersamaan. Dengan kejadian ini, kurva Phillips sebenarnya telah mati dan begitu juga dengan konsep makro-moneter dan kebijakan fiskal tradisional Keynes.

Prinsip The Impossibility Theorem in Practise, kemudian bisa menunjukkan terjadinya kebuntuan ini. Prinsip ini mengatakan bahwa: bauran sebuah sistim ekonomi, yang terdiri dari elemen-elemen equlibrium dan disequlibrium, praktek-praktek, pasar-pasar, institusi-institusi dan di mana uang kertas dan kredit bank digunakan di dalam jumlah yang besar, adalah sangat tidak mungkin untuk mengkalkulasi dan mengimplementasikan secara institusi pada setiap waktu yang tertentu, kestabilan equilibrium dari sirkulasi supply moneter, konsisten secara bersamaan dengan stabilitas harga, tingkat penggunaan tenaga tenaga kerja penuh, anggaran negara yang seimbang, neraca pembayaran luar negeri yang seimbang serta distribusi pendapatan nasional yang adil, sejauh yang memungkinkan.

Philosophy of Economics

Theorem Quinta Methodica mengatakan bahwa seluruh permasalahan ilmu ekonomi dapat dirangkum dalam 5 kategori dasar. Pertama, sejarah dan statistik. Kedua, teoritis atau analisis. Ketiga, etika atau moral. Keempat, kebijakan . Dan kelima, doktrin (sejarah pemikiran ekonomi).

Jika identitas kelima ilmu ekonomi yang berkaitan namun merupakan sebuah cabang tersendiri ini dikenali dengan baik, maka banyak pertentangan (yang tidak seharusnya terjadi) dapat dihindari di masa-masa yang telah lalu dan akan datang. Seperti halnya pertentangan tradisional antara penyokong ilmu ekonomi positif dan normatif. Dalam pandangan para ahli ekonomi, ilmu ekonomi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian pendekatan. Pertama, Science of Economics. Kedua, Philosophy of Economics.

Science of economics atau ekonomi positif berisi pernyataan tentang fakta-fakta yang wujud di dalam masyarakat. Oleh sebab itu kebenarannya dapat dibuktikan dengan pendekatan logistik dengan memperhatikan kenyataan yang wujud melalui penggunaan berbagai alat-alat analisa ekonomi (tools). Sedangkan Philosophy of economics atau ekonomi normatif mengemukakan pendapat mengenai apa yang sebaiknya harus wujud, sehingga lebih mengandung muatan nilai atau value judgement.

P.A. Samuelson, seorang guru besar ekonomi dari MIT, Amerika Serikat dan penerima Nobel bidang ekonomi pada tahun 1970, mengatakan bahwa pernyataan normatif sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang irrasional seperti faktor filsafat, kebudayaan dan agama. Oleh karenanya kebenaran pernyataan normatif tidak bisa dibuktikan dengan melihat pada kenyataan dan dianggap sebagai gangguan dalam praktik manajamen, bisnis dan pembangunan. Karena persepsi ini kemudian para ekonom memilih untuk meninggalkan analisa normatif (etika) dari konsep pemikiran ekonomi mereka, dan semakin lama semakin menjauh. Pola pemikiran ekonomi (positif) dengan pendekatan logistik inilah yang kemudian menjelma menjadi landasan perkembangan pola pemikiran utama (mainstream) dan membentuk sistim perekonomian global.

Namun tidak demikian halnya menurut Amartya Sen. Ekonom sekaligus filosof dari Harvard University, Amerika Serikat, yang juga pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1998 itu mengatakan bahwa perlu dibangun kontak yang lebih dekat antara etika dan ekonomi. Kontak ini akan berguna bagi perkembangan filsafat etika maupun ilmu ekonomi itu sendiri. Banyak masalah etika, seperti disimpulkannya, mengandung hal yang disebut aspek "rekayasa" (engineering) dan sebagian sebenarnya menyangkut hubungan-hubungan ekonomi.

Ia berpendapat, jarak yang semakin jauh antara etika dan ekonomi telah sangat memperlemah dan memiskinkan konsep ekonomi kesejahteraan bahkan sangat banyak memperlemah dasar-dasar ekonomi deskriptif dan preskriptif. Lebih jauh menurut Sen, pertimbangan-pertimbangan etis yang mempengaruhi perilaku manusia adalah aspek sentral etika. Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan ekonomi kesejahteraan mestinya diberi kesempatan untuk memberikan pengaruh terhadap perilaku yang nyata, dan selanjutnya tentu akan relevan juga bagi ilmu ekonomi logistik (positif).

Penutup

Pemberian Nobel bidang ekonomi kepada Amartya Sen, selain secara eksplisit menunjukkan keberhasilan karirnya secara pribadi, secara implisit juga menyiratkan pengakuan akan konsep baru yang ditawarkannya oleh masyarakat dunia ilmu ekonomi modern.

Jika dua revolusi pemikiran ekonomi sebelumnya (Klasik yang digagas oleh Adam Smith dan Modern yang digagas oleh John Maynard Keynes) telah berlalu masanya, maka berarti sebuah peluang dan ruang yang luas untuk sebuah konsep baru guna memperbaiki berbagai konsep ekonomi yang tidak cocok dan telah lapuk dimakan zaman tadi. Konsep baru itu terbuka lebar di depan mata !. Ruang untuk perbaikan itulah yang sekarang ini menjadi momentum awal bagi berkembangnya kembali konsep ekonomi Islam.

Terkait pada sistem ekonomi Islam, perbedaannya dengan ekonomi konvensional sebenarnya lebih terletak pada philosophy of economics, bukan pada science of economics. Philosophy of economics atau etika berekonomi sebagaimana disebut Amartya Sen inilah yang memberikan ruh pemikiran dengan nilai-nilai Islam dan batasan-batasan syari'ah pada sistim yang dibangun.

0 komentar :

Posting Komentar