Pages

Minggu, 26 Oktober 2014

Pasar Modal Syari'ah: Suatu Pengantar

Davy Hendri 
Disampaikan pada Seminar Sehari Pasar Modal yang diselenggarakan oleh BEM STIE Dharma Andalas bekerja sama dengan Pojok BEJ, Padang, 19 Juli 2003.

Pendahuluan

Pertumbuhan sistim keuangan syari’ah di Indonesia dewasa ini sangat menggembirakan. Sistem keuangan syari’ah, menyangkut mekanisme dan kelembagaan, sedang giat-giatnya melakukan ekspansi baik secara kuantitas maupun kualitas. Dari sisi kuantitas, fakta menunjukkan bahwa telah terjadi pertambahan jumlah lembaga/institusi yang sangat signifikan pada setiap sektor dalam sistim keuangan syari’ah tersebut. Umpamanya pertambahan jumlah lembaga perbankan, asuransi, reksadana dan lainnya, baik karena kehadiran pemain baru ataupun dari semakin eksisnya para pemain lama. 

Sementara itu dari sisi kualitas, boleh dikatakan bahwa prasyarat dari bangun sebuah sistem perekonomian syari’ah saat sekarang sudah semakin terlengkapi. Hal ini di mulai dari menjamurnya lembaga perbankan syari’ah sebagai disguissed blessing dari rontoknya bangun perbankan nasional. Pertumbuhan perbankan sebagai sektor strategis ini kemudian secara logis menarik gerbong-gerbong lainnya seperti asuransi syari’ah. Berita yang paling teranyar adalah peluncuran instrumen pasar modal syari’ah di lantai Bursa Efek.   
 
Nah, kemudian tentu timbul pertanyaan; Apa itu pasar modal syari’ah ?. Bagaimana sistem, pengelolaan dan karakteristik instrumennya ?. Terus siapa saja yang bisa berinvestasi dan mencari dana di sana ?. Untuk itu, tulisan sederhana ini mencoba menjawab berbagai pertanyaaan pokok tadi.  Sistematika penulisan akan dimulai dari paparan sisi pandang Islam terhadap pasar modal itu sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan kaidah yang harus ada di dalam pasar modal syari’ah serta seterusnya paparan berbagai karakteristik instrumen (produknya).

Etika Bisnis Islam

Baiklah, mari kita mulai pembicaraan kita tentang pasar modal syari’ah ini dari pemahaman mendasar tentang konsep bisnis dalam Islam.  Menurut Islam, aturan bisnis dengan segala  bentuknya pada dasarnya mengacu kepada asumsi bahwa manusia tercipta sebagai makhluk yang bebas bertindak (free will/free act) sehingga ia bebas membuat transaksi dan bentuk usaha apapun, yang penting halal. Karena pada dasarnya hukum asal suatu bisnis adalah  halal (al-ashlu fi al-mu’amalati al-ibadah). Jadi, usaha bisnis hanya akan menjadi terlarang jika dia mengandung salah satu unsur yang secara tegas terlarang di dalam syari’at. 


Dari ketegasan Islam dalam memegang norma-norma (etika) syari’ah tersebut maka bagi sebagian orang kemudian hal ini menjadi sebuah stigma.  Stigma itu berupa sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa lembaga bisnis apapun dengan embel-embel syari’ah, pasti lebih mementingkan etika dan nilai-nilai dibandingkan dengan  efisiensi dan efektivitas.  Sehingga pengelolaan lembaga bisnis tersebut ditengarai akan lebih kurang efisien bila dibandingkan  pengelolaan lembaga keuangan dan bisnis tanpa jargon syari’ah (selanjutnya kita sebut saja lembaga keuangan dan bisnis konvensional) sejenisnya. 

Benarkah demikian ?. Justru, dalam Islam, etika bisnis ditujukan untuk mencari kemashlahatan  (keberuntungan) dan menghindar dari mafsadat (kerugian) yang dalam istilah disebut Jalbul mashalih wa daf’ul mafasid.  Lebih jauh lagi, menurut seorang pakar syari’ah, Dr. Muchlis Bahar (2002), ruang lingkup etika bisnis dalam perspektif islam dapat dipahami dari terminologi fiqh mu’amalat. Fiqh yang dimaksud tentu tidak terbatas pada disiplin pengetahuan  hukum-hukum syari’ah saja. Tetapi fiqh harus dipahami secara luas dalam arti   
 
suatu  pemahaman yang matang dan mendalam tentang permasalahan duniawi dan uhkrowi yang menimbulkan sikap arif bijaksana dalam mengantisipasinya.

seperti yang disebut dalam sabda Rasullullah SAW : Min Fiqhir Rojuli Qoshduhu fi Ma’isyatihi (Diantara tanda kefakihan seseorang adalah sikap ekonomis dalam kehidupannya, H.R. Ahmad).

Dari sini maka etika bisnis perspektif Islam dalam konteks fiqh al-muamalat memiliki berbagai dimensi yang sangat kompleks yang dapat dideskripsikan secara umum ke dalam 3 (tiga) kategori :

1.      Aspek hukum syari’at (Fiqh ahkam al-mu’amalat).
Aspek ini berkatan dengan parameter untuk mengukur halal-haram, sah atau tidaknya (batal) suatu transaksi mu’amalat. Aspek ini bersifat konstan, internal dan universal khususnya dalam  pokok-pokok permasalahannya. Dalam hal ini etika bisnis hanya memberikan kriteria-kriteria umum tentang hal-hal yang membatalkan praktek mu’amalat yang telah disepakati para ulama.
Suatu transaksi dapat disebut sah, jika memenuhi kriteria di bawah ini :
  1. tidak mengandung unsur riba, maysir (judi), gharar (ketidakpastian), jahalah (ketidak tahuan/kebodohan),
  2. tidak mengandung unsur dzulm (kezaliman) yang dalam prakteknya dapat berupa ikhtikar (monopolistic rent) dan tadlis (penipuan)
  3. komoditi yang dibisniskan tidak termasuk yang diharamkan oleh syari’at seperti najis,  minuman keras,  pornografi dan berbagai aktivitas lain yang bertentangan dengan maqashid syar’i (tujuan ditetapkannya syari’at) secara umum.
  4. transaksi dilakukan atas dasar suka sama suka dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan
 2.      Aspek prinsip-prinsip teknis atau aplikasi (Fiqh Kaifiyah mu’amalat)
Aspek ini merupakan unsur penguasaan teoritis dan praktis dalam dunia bisnis yang mencakup tata cara, tradisi, kode etik dan etos kerja.  Aspek ini lebih berkarakter dinamis, adaftif, fleksibel dan  inovatif serta dapat mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Akibat dari pengabaian prinsip ini dapat menimbulkan berbagai penyelewengan.
Sebagaimana mengacu kepada interpretasi Umar bin al-Khattab dengan mengatakan : “La yabi’ fi suuqina illa man yafqoh” (Jangan berbisnis di pasar kami kecuali orang yang becus/menguasai mu’amalat)

3.      Aspek moral (Fiqh al-akhlaq fi al-mu’amalat)
Aspek ini menjadi pembeda antara yang baik dengan yang buruk, antara yang pantas dengan yang tidak pantas dilakukan dalam kegiatan bisnis baik secara pribadi maupun individu. Unsur ini terkadang dimasukkan dalam prinsip Ihsan, yang asalnya bukan merupakan kewajiban syari’at akan tetapi  dilakukan sebagai kebaikan dan kemurahan hatinya, seperti yang dijelaskan Al-Ghazali dalam kitab Al-Ihya’.
Dalam aspek inilah tercakup bagaimna seharisnya pola hubungan perusahaan dengan mitra bisnis, hubungan antara manajemen dengan pekerja, mekanisme produksi dan aktivitas pasar.

Pasar Modal Syari’ah

Dalam Islam, konsep pasar modal dalam bentuknya yang modern seperti sekarang ini memang diakui sebagai sesuatu hal yang baru. Praktek ini memang tidak ditemui adanya pada masa Rasulullah SAW maupun para khalifah dan penerus RA sesudah mereka. Juga tidak ditemukan catatan para pakar fiqh (Syari’ahic scholars) sampai kemudian dunia Barat mengenalkannya. 

Namun, satu hal yang pasti, Islam dalam ajarannya telah menetapkan prinsip-prinsip pokok tentang bagaimana ekonomi dan bisnis seharusnya dijalankan. Aturan-aturan pokok dalam Al-Quran dan Sunnah itu lengkap mencakupi pilar-pilar pembangun  pasar modal. Selanjutnya, dengan fleksibilitas kaidah syar’inya maka kemudian para pakar fiqh melakukan berbagai kajian terhadap konsep yang sudah ada sehingga upaya-upaya itu sampai kepada bentuk diadaptasi dan berkembangnya konsep Pasar Modal Syari’ah (Islamic Capital Market).
Sama seperti halnya dalam dunia bisnis kontemporer, ICM memainkan peranan utama sebagai lembaga intermediasi keuangan antara yang kelebihan modal (surplus funds) dan yang membutuhkan modal (deficit funds). Dalam terminologi bisnis, yang pertama disebut sebagai investor sementara yang kedua disebut sebagai enterpreneurs. Kedua pihak yang berbeda kepentingan ini kemudian  dipertemukan di pasar modal yang dalam hal ini juga berfungsi sebagai sebuah pasar yang tertata rapi.  
 
Oleh karena itu, marilah kita lihat uraian implementasi dari etika bisnis menurut syari’ah dalam praktek pasar modal. Implementasi ini mecakupi ke 2 (dua) komponen pokok yang harus ada di dalam sebuah bursa saham. Pertama, sistem pasar. Dalam hal ini bahasan ini menyangkut mekanisme dan aturan main (rule of the game) yang berlaku di pasar modal. Hal ini juga menyangkut bentuk dan karakteristik teknis dari instrumen yang diperjual belikan di pasar. Di dalam pasar modal konvensional, instrumen ini berupa saham (stocks) dan obligasi (bonds). Kedua, pelaku pasar, menyangkut subjek yang melakukan berbagai transaksi (dalam hal ini investor dan enterpreneur, serta institusi perantaranya) tadi, serta berbagai persyaratan prilaku dan preferensi mereka.  Ketiga, komoditas pasar, 

A.        Sistem Pasar
Sejak 14 abad yang lalu, Islam telah melarang praktek riba, gharar, maysir dan segala derivat-derivatnya dalam pengelolaan bisnis dan perekonomian secara umum.  (lihat alasan dan implikasi pelarangannya pada http://www.ruf.rice.edu/~elgamal/files/riba.pdf  dan http://www.ruf.rice.edu/~elgamal/files/gharar.pdf).
Sementara itu beberapa model kontrak yang diperbolehkan menurut syari’at mencakup; jual beli, kerjasama dan sewa-menyewa serta segala derivatnya dalam konteks lembaga keuangan dan bisnis kontemporer. (untuk lebih detail lihat      http: // www.ruf.rice.edu/             /~elgamal/files/primer.pdf).

Rasanya konsep jual beli dan sewa-menyewa sudah cukup jelas bagi sebagian besar orang.  Satu hal yang selama ini menjadi pembahasan dan perdebatan seru dalam membahas ekonomi syari’ah adalah konsep bagi hasil. Berbicara lebih khusus tentang bagi hasil, konsep ini merupakan prasyarat  utama dari sebuah kerjasama (partnertships), dalam Islam, meliputi  pola mudharabah (silent partnertship) dan musyarakah (full-partnertships).  Di dalam konteks pembiayaan pada lembaga keuangan, pola ini disebut juga pola penyertaan. Sehingga dana yang diperoleh perusahaan dengan cara tersebut  disebut   Konsep bagi hasil atau sering disebut PLS (profit-loss sharing) menjadi pembeda azali antara sistem (dalam hal ini menyangkut mekanisme dan instrumen) keuangan perbankan syariah dan konvensional. Namun, meskipun sudah menjadi agenda intelektual dari banyak ekonom, konsep ini, bagi pihak-pihak tertentu masih banyak bermuara kepada keragu-raguan; benarkah bisa mengantarkan kepada keuntungan bagi kedua belah pihak lembaga keuangan (baik bank maupun non-bank) dan konsumen penggunanya ?. 
 
Kontrak bagi hasil pada dasarnya memberikan keleluasan bagi mudhorib (pengguna dana, peminjam) untuk menentukan tingkat optimalisasi usaha yang akan dilakukannya. Dalam kondisi ideal dimana masing-masing pihak mendapatkan akses terhadap informasi secara lengkap (informationally symmetric) konsep bagi hasil merupakan satu pilihan yang optimal (first best solution). Namun tentu tak akan ada kondisi ideal karena masing-masing pihak tidak mungkin mendapatkan informasi yang sempurna. Ketidak sempurnaan ini akan meningkatkan tingkat risiko dari pihak-pihak yang melakukan kontrak. Sekedar sebagai contoh, shohibul maal (kreditor) memberikan pinjaman kepada mudhorib (debitor). Namun karena miskinnya informasi berkait dengan tingkat pengendalian (expected return) dari suatu usaha, maka pihak pemilik modal sangat terbuka akan mengalami kemungkinan kerugian.

Ketidak Sempurnaan Informasi 

Dalam kontrak bagi hasil, shohibul maal akan menghadapi beberapa masalah yagng potensial. Ini terjadi karena tidak sempurnanya akses informasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang melakukan kontrak. Dua masalah yang paling menonjol adalah : 

1.      Sulitnya menilai tingkat kegiatan usaha debitor (unobservable effort)
2.      Terbatasnya akses informasi khususnya menyangkut tingkat produktifitas usaha (hidden productivity)

Tidak sempurnanya informasi yang diterima yang menyebabkan tidak tercapainya kondisi ideal disebabkan oleh 2 (dua) hal. Pertama, bersifat alamiah dan kedua, bersifat didisain/disengajakan. Risiko bisnis termasuk dampak dari kurangnya informasi. Dan ini masih bisa diterima, sedangkan miskinnya informasi yang diterima karena unsur kesengajaan,  jelas tidak diperbolehkan. Menurut kaidah fiqh hal ini terkategori ke dalam bentuk penipuan (tadlis, baik tadlis kuantitas, kualitas dan harga). 

Yang salah dalam sistem ekonomi konvensional adalah para pelaku bisnis memindahkan begitu saja risiko, yang harus dibayar lebih mahal atau lebih sering disebut sebagai discount rate. Dengan demikian, dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, pendapatan dalam kondisi ketidakpastian diubah menjadi pendapatan dalam kondisi ada kepastian dengan menarik premium. Namanya juga investasi, selalu saja ada kemungkinan untuk mendapatkan hasil (return), rugi (negative return) atau tak mendapat keuntungan apa-apa (no return). Karena pandangan ini, muncul konsep ketidak pastian. Kemungkinan investasi akan menghaslkan kerugian dan nihil sama sekali inilah yang kemudian ditutup dengan bea premium karena alasan ketidakpastian.

Tabel 1.
 
Pendapatan Yang Pasti
Pendapatan Yang Tidak Pasti
Disebut sebagai bunga
Disebut sebagai discoun rate
Bunga riil di definisikan sebagai pilihan konsumsi saat ini untuk konsumsi masa dedpan
 
Bunga nominal = bunga riil ditambah dengan ekspektasi inflasi
 
 
Discoun rate = bunga riil + harapan inflasi + bea premium karena ketidak pastian
 
Bila kondisi di atas dijabarkan lebih lanjut,  maka ilustrasi berikut akan menggambarkan mengapa syari’ah melarang konsep premium for uncertainty. Kondisi itu (tabel 2) mencerminkan transaksi yang tak dibolehkan oleh Syari’ah. Dalam figh, itulah yang disebut dengan istilah al ghunmu bila ghurmi (memperoleh pendapatan tapi tak mau bertanggung jawab terhadap resiko) atau al kharaj bila dhaman (mau memperoleh penghasilan, tapi tidak mau mengeluarkan biaya).  
Tabel 2.
 
Keadaan
Ketidakpastian alamiah (kemungkinan)
Discount rate (kemungkinan)
Untung
Impas
rugi
0,4
0,2
0,4
1,0
0,0
0,0
 
B.         Pelaku  Pasar

Investor

Pada dasarnya dinamika pasar modal sangat ditentukan oleh aktivitas para pelakunya. Dalam hal ini, melalui tangan para pedagang perantara (baik pribadi maupun lembaga khusus), para investor mengendalikan pergerakan; naik turun, untung rugi harga instrumen (saham), sesuai keinginan mereka. Jadi sebenarnya di pasar modal, ada dua tipe pelaku yang bermain, yaitu investor sejati (genunie investor) dan spekulan (inside traders). 
Bagi investor sejati, alasan utama keikutsertaan mereka dalam pasar memang semata-mata menggalang dana untuk perluasan bisnis atau mencari keuntungan. Oleh karenanya investor harus bekerja keras  dan mempelajari kondisi fundamental makroekonomi sebagai langkah awalnya. Mereka harus menganalisa berbagai variasi faktor yang akan mempengaruhi  keputusannya berinvestasi selanjutnya. Faktor-faktor ini seperti tingkat pengangguran, inflasi, roda bisnis, tingkat pertumbuhan, suku bunga dan lain sebagainya. Ketika analisa makroekonomi menyeluruh telah dilakukan (oleh meraka sendiri ataupun oleh konsultan investasi), tahap kedua dimulai; analisis fundamental mikroekonomi dari perusahaan yang dipilih sebagai tempat penanaman modal, seperti perkembangan dan track record, dividen, tingkat penjualan, keuntungan dan berbagai rasio keuangan lainnya. 

Sementara itu, para spekulan adalah orang-orang yang menyebarkan rumor-rumor di lantai bursa. Jenis orang seperti ini biasanya tidak perlu bekerja sekeras investor sejati. Tujuan utama mereka adalah mencetak keuntungan dalam waktu singkat atas biaya orang lain. Untuk tujuan itu mereka seringkali melakukan apa yang disebut para broker dengan menggoreng. Dalam kasus bursa saham,  mereka akan menyebarkan informasi sesat yang dapat menimbulkan kepanikan di seluruh lantai bursa dan lebih khusus lagi mereka memaksa para investor sejati untuk menjual saham mereka dengan cepat. Lebih jauh, rumor itu dimulai dari perusahaan besar di lantai bursa untuk memanipulasi pasar dan memaksa investor sejati untuk ke luar dari pasar modal selamanya. Inilah alasan yanglemudian menyebabkan banyak investor menolak untuk bertransaksi di pasar modalsementara sebagian yang lain menganggap bahwa pasar modalhampir sama halnya dengan meja kasino atau judi.  Pasar modal lebih kental dengan nuansa spekulasi dan manipulasi daripada nuansa analisa fundamental ekonomi dan keuangan.

Enterpereneur (Perusahaan)

Sementara itu, Islam juga menetapkan prasyarat ketat dalam berinvestasi. Namun, seorang investor muslim tidak begitu saja bisa berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang sudah listed di lantai bursa. Hal ini bisa terjadi karena 2 (dua) hal; pertama, karena faktor kualitatif yaitu bisnis utama (core business) yang dijalankan oleh perusahaan dan kedua, karena faktor kuantitatif yaitu pembiayaan atau struktur keuangan dari sebuah perusahaan. Jadi ada dua tahapan seleksi yang harus dilalui oleh sebuah perusahaan untuk dapat listed di lantai bursa.

Untuk lolos pada seleksi tahap pertama, selain memproduksi komoditi dan beraktivitas pada bidang yang halal maka ada beberapa kriteria produk dan jasa serta  aktivitas yang harus dihindari oleh sebuah perusahaan :

1.             Makanan dan minuman, yang tidak halal, mengandung alkohol, babi dan produk derivatnya, produk tembakau (rokok)
2.             Perjudian, seperti kasino dan taruhan di pacuan kuda
3.             Aktivitas illegal, seperti prostitusi dan obat-obatan berbahaya
4.             Aktivitas lainnya seperti lembaga keuangan konvensional (berbasis bunga), day trading, margin trading, derivatvies (options and futures), serta shorting
5.             Entertainment dan senjata
Dow Jones Islamic Index (DJII), http://www.dowjones.com/corp/index_products.htm (pp. 8-10). 

Adapun ketika aktivitas sebuah perusahaan bercampur dengan aktivitas non-halal atau meragukan maka ada beberapa kriteria tambahan yang harus diperhatikan :

1.                  Aktivitas non-halal adalah aktivitas sampingan (side activities)
2.                  Aktivitas itu minimal
3.                  Aktivitas itu tak dapat dihindari atau sangat sulit dihindari
4.                  Khalayak meembutuhkan aktivitas yang halal dari perusahaan tersebut  karena menguntungkan masyarakat secara keseluruhan

Setelah proyek (perusahaan) lolos seleksi tahap pertama, lalu dilanjutkan dengan seleksi tahap kedua. Seleksi tahap kedua, terkait dengan struktur keuangan perusahaan.  Saat sekarang  sangat sulit sekali untuk mencari perusahaan yang mengandalkan pencapaian keuntungan dengan upayanya sendiri dan selalu bergantung pada pembiayaan (permodalan) sendiri (tidak pernah terkait dengan pinjaman  berbasis bunga). Oleh karena itu  untuk  menyeleksi perusahaan yang terkait dengan itu maka para pakar syari’ah menetapkan beberapa aturan mengenai struktur keuangan perusahaan (Untuk lebih detail lihat http://www.Muslim-Investor.com-Prohibited Business Activities) :

1.                  Debt to equity ratio  ≤ 33 %.
Rasio utang dibandingkan dengan modal maksimal  33 % 
2.                  Account receiveable to total asset  ≤ 47 %.
Rasio piutang dengan total asset maksimal 47 %.
Total income from interest 25 % (pendapat lain    33,3 %). Sementara itu, total income from non-operating 
interest activities 9 %.

Penutup 

Untuk menentukan jenis kontrak yang akan dipilih,  persoalannya tidak gampang bagi muslim. Sebab mereka sekurangnya harus mengantongi dua persyaratan sekaligus, baru kontrak boleh dijalankan. Syarat pertama, tentulah kontrak harus memberikan jaminan pendapatan yang bagus, dan yang kedua, tidak boleh tidak, kontrak tidak boleh melenceng dari pedoman syariah. Konsep syariah mengajarkan menyangga usaha secara bersama, baik dalam membagi keuntungan atau sebaliknya menanggung kerugian.

Anjuran itu antara lain adalah transparansi dalam membuat kontrak (symmetric information), penghargaan terhadap waktu, dan amanah. Bila ketiga syarat tersebut dipenuhi, model transaksi yang terjadi bisa mencapai apa yang disebut dimuka kontrak yang menghasilkan kualitas terbaik (the best solution). Oleh karenanya penciptaan kesejahteraan seharusnya merupakan hasil dari kerjasama antara investor dengan pengguna modal, di mana balas jasa dan resiko sama-sama dipikul. Return dari investasi modal yang diperoleh seharusnya terkait dengan profit yang diciptakan oleh modal daripada bunga yang telah ditetapkan di awal; sehingga seorang muslim harus meyakinkan bahwa investasi yang dilakukannya tidaklah bertentangan dengan pilar-pilar keimanannya---kesimpulan filosofis ini haruslah di praktekkan dalam proses pengumpulan kekayaan.

Penulis, Direktur Yayasan GARDA ERA dan Dosen pada Akademi Ekonomi Syari'ah Adzkia Padang. 

0 komentar :

Posting Komentar