Davy Hendri
Disampaikan pada
Seminar Sehari Pasar Modal yang diselenggarakan oleh BEM STIE Dharma
Andalas bekerja sama dengan Pojok BEJ, Padang, 19 Juli 2003.
Pendahuluan
Pertumbuhan
sistim keuangan syari’ah di Indonesia dewasa ini sangat
menggembirakan. Sistem keuangan syari’ah, menyangkut mekanisme dan
kelembagaan, sedang giat-giatnya melakukan ekspansi baik secara
kuantitas maupun kualitas. Dari sisi kuantitas, fakta menunjukkan bahwa
telah terjadi pertambahan jumlah lembaga/institusi yang sangat
signifikan pada setiap sektor dalam sistim keuangan syari’ah tersebut.
Umpamanya pertambahan jumlah lembaga perbankan, asuransi, reksadana dan
lainnya, baik karena kehadiran pemain baru ataupun dari semakin eksisnya
para pemain lama.
Sementara
itu dari sisi kualitas, boleh dikatakan bahwa prasyarat dari bangun
sebuah sistem perekonomian syari’ah saat sekarang sudah semakin
terlengkapi. Hal ini di mulai dari menjamurnya lembaga perbankan
syari’ah sebagai disguissed
blessing dari rontoknya bangun perbankan nasional. Pertumbuhan
perbankan sebagai sektor strategis ini kemudian secara logis menarik
gerbong-gerbong lainnya seperti asuransi syari’ah. Berita yang paling
teranyar adalah peluncuran instrumen pasar modal syari’ah di lantai
Bursa Efek.
Nah,
kemudian tentu timbul pertanyaan; Apa itu pasar modal syari’ah ?.
Bagaimana sistem, pengelolaan dan karakteristik instrumennya ?. Terus
siapa saja yang bisa berinvestasi dan mencari dana di sana ?. Untuk itu,
tulisan sederhana ini mencoba menjawab berbagai pertanyaaan pokok tadi.
Sistematika penulisan akan dimulai dari paparan sisi pandang
Islam terhadap pasar modal itu sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan
kaidah yang harus ada di dalam pasar modal syari’ah serta seterusnya
paparan berbagai karakteristik instrumen (produknya).
Etika Bisnis Islam
Baiklah,
mari kita mulai pembicaraan kita tentang pasar modal syari’ah ini dari
pemahaman mendasar tentang konsep bisnis dalam Islam.
Menurut Islam, aturan bisnis dengan segala
bentuknya pada dasarnya mengacu kepada asumsi bahwa manusia
tercipta sebagai makhluk yang bebas bertindak (free
will/free act) sehingga ia bebas membuat transaksi dan bentuk usaha
apapun, yang penting halal. Karena pada dasarnya hukum asal suatu bisnis
adalah halal (al-ashlu
fi al-mu’amalati al-ibadah). Jadi, usaha bisnis hanya akan menjadi
terlarang jika dia mengandung salah satu unsur yang secara tegas
terlarang di dalam syari’at.
Dari
ketegasan Islam dalam memegang norma-norma (etika) syari’ah tersebut
maka bagi sebagian orang
kemudian hal ini menjadi sebuah stigma. Stigma itu berupa sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa
lembaga bisnis apapun dengan embel-embel syari’ah, pasti lebih
mementingkan etika dan nilai-nilai dibandingkan dengan
efisiensi dan efektivitas. Sehingga
pengelolaan lembaga bisnis tersebut ditengarai akan lebih kurang efisien
bila dibandingkan pengelolaan
lembaga keuangan dan bisnis tanpa jargon syari’ah (selanjutnya kita
sebut saja lembaga keuangan dan bisnis konvensional) sejenisnya.
Benarkah
demikian ?. Justru, dalam Islam, etika bisnis ditujukan untuk mencari kemashlahatan
(keberuntungan) dan
menghindar dari mafsadat
(kerugian) yang dalam istilah disebut Jalbul
mashalih wa daf’ul mafasid. Lebih
jauh lagi, menurut seorang pakar syari’ah, Dr. Muchlis Bahar (2002),
ruang lingkup etika bisnis dalam perspektif islam dapat dipahami dari
terminologi fiqh mu’amalat. Fiqh yang dimaksud tentu tidak terbatas pada
disiplin pengetahuan hukum-hukum
syari’ah saja. Tetapi fiqh harus dipahami secara luas dalam arti
suatu
pemahaman yang matang dan mendalam tentang permasalahan duniawi
dan uhkrowi yang menimbulkan sikap arif bijaksana dalam
mengantisipasinya.
seperti
yang disebut dalam sabda Rasullullah SAW : Min
Fiqhir Rojuli Qoshduhu fi Ma’isyatihi (Diantara tanda kefakihan
seseorang adalah sikap ekonomis dalam kehidupannya, H.R. Ahmad).
Dari
sini maka etika bisnis perspektif Islam dalam konteks fiqh al-muamalat
memiliki berbagai dimensi yang sangat kompleks yang dapat dideskripsikan
secara umum ke dalam 3 (tiga) kategori :
1.
Aspek hukum syari’at (Fiqh
ahkam al-mu’amalat).
Aspek
ini berkatan dengan parameter untuk mengukur halal-haram, sah atau
tidaknya (batal) suatu transaksi mu’amalat. Aspek ini bersifat
konstan, internal dan universal khususnya dalam
pokok-pokok permasalahannya. Dalam hal ini etika bisnis hanya
memberikan kriteria-kriteria umum tentang hal-hal yang membatalkan
praktek mu’amalat yang telah disepakati para ulama.
Suatu
transaksi dapat disebut sah, jika memenuhi kriteria di bawah ini :
- tidak mengandung unsur riba, maysir (judi), gharar (ketidakpastian), jahalah (ketidak tahuan/kebodohan),
- tidak mengandung unsur dzulm (kezaliman) yang dalam prakteknya dapat berupa ikhtikar (monopolistic rent) dan tadlis (penipuan)
- komoditi yang dibisniskan tidak termasuk yang diharamkan oleh syari’at seperti najis, minuman keras, pornografi dan berbagai aktivitas lain yang bertentangan dengan maqashid syar’i (tujuan ditetapkannya syari’at) secara umum.
- transaksi dilakukan atas dasar suka sama suka dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan
2.
Aspek prinsip-prinsip teknis atau aplikasi (Fiqh
Kaifiyah mu’amalat)
Aspek
ini merupakan unsur penguasaan teoritis dan praktis dalam dunia bisnis
yang mencakup tata cara, tradisi, kode etik dan etos kerja.
Aspek ini lebih berkarakter dinamis, adaftif, fleksibel dan
inovatif serta dapat mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibat dari pengabaian prinsip ini dapat menimbulkan berbagai
penyelewengan.
Sebagaimana
mengacu kepada interpretasi Umar bin al-Khattab dengan mengatakan : “La yabi’ fi suuqina illa man yafqoh” (Jangan berbisnis di pasar
kami kecuali orang yang becus/menguasai mu’amalat)
3.
Aspek moral (Fiqh al-akhlaq
fi al-mu’amalat)
Aspek
ini menjadi pembeda antara yang baik dengan yang buruk, antara yang
pantas dengan yang tidak pantas dilakukan dalam kegiatan bisnis baik
secara pribadi maupun individu. Unsur ini terkadang dimasukkan dalam
prinsip Ihsan, yang asalnya bukan merupakan kewajiban syari’at
akan tetapi dilakukan
sebagai kebaikan dan kemurahan hatinya, seperti yang dijelaskan
Al-Ghazali dalam kitab Al-Ihya’.
Dalam
aspek inilah tercakup bagaimna seharisnya pola hubungan perusahaan
dengan mitra bisnis, hubungan antara manajemen dengan pekerja, mekanisme
produksi dan aktivitas pasar.
Pasar Modal Syari’ah
Dalam
Islam, konsep pasar modal dalam bentuknya yang modern seperti sekarang
ini memang diakui sebagai sesuatu hal yang baru. Praktek ini memang
tidak ditemui adanya pada masa Rasulullah SAW maupun para khalifah dan
penerus RA sesudah mereka. Juga tidak ditemukan catatan para pakar fiqh
(Syari’ahic scholars) sampai
kemudian dunia Barat mengenalkannya.
Namun,
satu hal yang pasti, Islam dalam ajarannya telah menetapkan
prinsip-prinsip pokok tentang bagaimana ekonomi dan bisnis seharusnya
dijalankan. Aturan-aturan pokok dalam Al-Quran dan Sunnah itu lengkap
mencakupi pilar-pilar pembangun pasar
modal. Selanjutnya, dengan fleksibilitas kaidah syar’inya maka
kemudian para pakar fiqh melakukan berbagai kajian terhadap konsep yang
sudah ada sehingga upaya-upaya itu sampai kepada bentuk diadaptasi dan
berkembangnya konsep Pasar Modal Syari’ah (Islamic
Capital Market).
Sama
seperti halnya dalam dunia bisnis kontemporer, ICM
memainkan peranan utama sebagai lembaga intermediasi keuangan antara
yang kelebihan modal (surplus funds) dan yang membutuhkan modal (deficit funds). Dalam terminologi bisnis, yang pertama disebut
sebagai investor sementara
yang kedua disebut sebagai enterpreneurs.
Kedua pihak yang berbeda kepentingan ini kemudian
dipertemukan di pasar modal yang dalam hal ini juga berfungsi
sebagai sebuah pasar yang tertata rapi.
Oleh
karena itu, marilah kita lihat uraian implementasi dari etika bisnis
menurut syari’ah dalam praktek pasar modal. Implementasi ini mecakupi
ke 2 (dua) komponen pokok yang harus ada di dalam sebuah bursa
saham. Pertama, sistem pasar.
Dalam hal ini bahasan ini menyangkut mekanisme dan aturan main (rule
of the game) yang berlaku di pasar modal. Hal ini juga menyangkut
bentuk dan karakteristik teknis dari instrumen yang diperjual belikan di
pasar. Di dalam pasar modal konvensional, instrumen ini berupa saham (stocks)
dan obligasi (bonds). Kedua,
pelaku pasar, menyangkut subjek yang melakukan berbagai transaksi (dalam
hal ini investor dan enterpreneur, serta institusi perantaranya) tadi,
serta berbagai persyaratan prilaku dan preferensi mereka. Ketiga, komoditas
pasar,
A.
Sistem Pasar
Sejak
14 abad yang lalu, Islam telah melarang praktek riba, gharar, maysir dan
segala derivat-derivatnya dalam pengelolaan bisnis dan perekonomian
secara umum. (lihat alasan
dan implikasi pelarangannya pada http://www.ruf.rice.edu/~elgamal/files/riba.pdf
dan http://www.ruf.rice.edu/~elgamal/files/gharar.pdf).
Sementara itu beberapa
model kontrak yang diperbolehkan menurut syari’at mencakup; jual beli,
kerjasama dan sewa-menyewa serta segala derivatnya dalam konteks lembaga
keuangan dan bisnis kontemporer. (untuk lebih detail lihat
http:
// www.ruf.rice.edu/
/~elgamal/files/primer.pdf).
Rasanya
konsep jual beli dan sewa-menyewa sudah cukup jelas bagi sebagian besar
orang. Satu hal yang selama
ini menjadi pembahasan dan perdebatan seru dalam membahas ekonomi
syari’ah adalah konsep bagi hasil. Berbicara lebih khusus tentang bagi
hasil, konsep ini merupakan prasyarat utama dari sebuah kerjasama (partnertships),
dalam Islam, meliputi pola
mudharabah (silent partnertship)
dan musyarakah (full-partnertships).
Di dalam konteks pembiayaan pada lembaga keuangan, pola ini
disebut juga pola penyertaan. Sehingga dana yang diperoleh perusahaan
dengan cara tersebut disebut Konsep
bagi hasil atau sering disebut PLS (profit-loss
sharing) menjadi pembeda azali antara sistem (dalam hal ini
menyangkut mekanisme dan instrumen) keuangan perbankan syariah dan
konvensional. Namun, meskipun sudah menjadi agenda intelektual dari
banyak ekonom, konsep ini, bagi pihak-pihak tertentu masih banyak
bermuara kepada keragu-raguan; benarkah bisa mengantarkan kepada
keuntungan bagi kedua belah pihak lembaga keuangan (baik bank maupun
non-bank) dan konsumen penggunanya ?.
Kontrak
bagi hasil pada dasarnya memberikan keleluasan bagi mudhorib
(pengguna dana, peminjam) untuk menentukan tingkat optimalisasi
usaha yang akan dilakukannya. Dalam kondisi ideal dimana masing-masing
pihak mendapatkan akses terhadap informasi secara lengkap (informationally
symmetric) konsep bagi hasil merupakan satu pilihan yang optimal (first
best solution). Namun tentu tak akan ada kondisi ideal karena
masing-masing pihak tidak mungkin mendapatkan informasi yang sempurna.
Ketidak sempurnaan ini akan meningkatkan tingkat risiko dari pihak-pihak
yang melakukan kontrak. Sekedar sebagai contoh, shohibul maal (kreditor)
memberikan pinjaman kepada mudhorib (debitor).
Namun karena miskinnya informasi berkait dengan tingkat pengendalian (expected
return) dari suatu usaha, maka pihak pemilik modal sangat terbuka
akan mengalami kemungkinan kerugian.
Ketidak Sempurnaan Informasi
Dalam
kontrak bagi hasil, shohibul maal akan menghadapi beberapa masalah yagng
potensial. Ini terjadi karena tidak sempurnanya akses informasi yang
dimiliki oleh pihak-pihak yang melakukan kontrak. Dua masalah yang
paling menonjol adalah :
1.
Sulitnya menilai tingkat kegiatan usaha debitor (unobservable
effort)
2.
Terbatasnya akses informasi khususnya menyangkut tingkat
produktifitas usaha (hidden
productivity)
Tidak
sempurnanya informasi yang diterima yang menyebabkan tidak tercapainya
kondisi ideal disebabkan oleh 2 (dua) hal. Pertama,
bersifat alamiah dan kedua,
bersifat didisain/disengajakan.
Risiko bisnis termasuk dampak dari kurangnya informasi. Dan ini masih
bisa diterima, sedangkan miskinnya informasi yang diterima karena unsur
kesengajaan, jelas tidak
diperbolehkan. Menurut kaidah fiqh hal ini terkategori ke dalam bentuk
penipuan (tadlis, baik tadlis
kuantitas, kualitas dan harga).
Yang
salah dalam sistem ekonomi konvensional adalah para pelaku bisnis
memindahkan begitu saja risiko, yang harus dibayar lebih mahal atau
lebih sering disebut sebagai discount
rate. Dengan demikian, dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional,
pendapatan dalam kondisi ketidakpastian diubah menjadi pendapatan dalam
kondisi ada kepastian dengan menarik premium. Namanya juga investasi,
selalu saja ada kemungkinan untuk mendapatkan hasil (return),
rugi (negative return) atau
tak mendapat keuntungan apa-apa (no
return). Karena pandangan ini, muncul konsep ketidak pastian.
Kemungkinan investasi akan menghaslkan kerugian dan nihil sama sekali
inilah yang kemudian ditutup dengan bea premium karena alasan
ketidakpastian.
Tabel
1.
Pendapatan Yang Pasti
|
Pendapatan Yang Tidak Pasti
|
Disebut sebagai bunga
|
Disebut sebagai discoun rate
|
Bunga riil di definisikan sebagai
pilihan konsumsi saat ini untuk konsumsi masa dedpan
|
|
Bunga nominal = bunga riil ditambah
dengan ekspektasi inflasi
|
|
Discoun rate = bunga riil + harapan
inflasi + bea premium karena ketidak pastian
|
Bila
kondisi di atas dijabarkan lebih lanjut,
maka ilustrasi berikut akan menggambarkan mengapa syari’ah
melarang konsep premium for
uncertainty. Kondisi itu (tabel 2) mencerminkan transaksi yang tak
dibolehkan oleh Syari’ah. Dalam figh, itulah yang disebut dengan
istilah al ghunmu bila ghurmi
(memperoleh pendapatan tapi tak mau bertanggung jawab terhadap resiko)
atau al kharaj bila dhaman
(mau memperoleh penghasilan, tapi tidak mau mengeluarkan biaya).
Tabel
2.
Keadaan
|
Ketidakpastian alamiah (kemungkinan)
|
Discount rate (kemungkinan)
|
Untung
Impas
rugi
|
0,4
0,2
0,4
|
1,0
0,0
0,0
|
B.
Pelaku Pasar
Investor
Pada
dasarnya dinamika pasar modal sangat ditentukan oleh aktivitas para
pelakunya. Dalam hal ini, melalui tangan para pedagang perantara (baik
pribadi maupun lembaga khusus), para investor mengendalikan pergerakan;
naik turun, untung rugi harga instrumen (saham), sesuai keinginan
mereka. Jadi sebenarnya di pasar modal, ada dua tipe pelaku yang
bermain, yaitu investor sejati (genunie
investor) dan spekulan (inside
traders).
Bagi
investor sejati, alasan utama keikutsertaan mereka dalam pasar memang
semata-mata menggalang dana untuk perluasan bisnis atau mencari
keuntungan. Oleh karenanya investor harus bekerja keras
dan mempelajari kondisi fundamental makroekonomi sebagai langkah
awalnya. Mereka harus menganalisa berbagai variasi faktor yang akan
mempengaruhi keputusannya
berinvestasi selanjutnya. Faktor-faktor ini seperti tingkat
pengangguran, inflasi, roda bisnis, tingkat pertumbuhan, suku bunga dan
lain sebagainya. Ketika analisa makroekonomi menyeluruh telah dilakukan
(oleh meraka sendiri ataupun oleh konsultan investasi), tahap kedua
dimulai; analisis fundamental mikroekonomi dari perusahaan yang dipilih
sebagai tempat penanaman modal, seperti perkembangan dan track record,
dividen, tingkat penjualan, keuntungan dan berbagai rasio keuangan
lainnya.
Sementara
itu, para spekulan adalah orang-orang yang menyebarkan rumor-rumor di
lantai bursa. Jenis orang seperti ini biasanya tidak perlu bekerja
sekeras investor sejati. Tujuan utama mereka adalah mencetak keuntungan
dalam waktu singkat atas biaya orang lain. Untuk tujuan itu mereka
seringkali melakukan apa yang disebut para broker dengan menggoreng.
Dalam kasus bursa saham, mereka
akan menyebarkan informasi sesat yang dapat menimbulkan kepanikan di
seluruh lantai bursa dan lebih khusus lagi mereka memaksa para investor
sejati untuk menjual saham mereka dengan cepat. Lebih jauh, rumor itu
dimulai dari perusahaan besar di lantai bursa untuk memanipulasi pasar
dan memaksa investor sejati untuk ke luar dari pasar modal selamanya.
Inilah alasan yanglemudian menyebabkan banyak investor menolak untuk
bertransaksi di pasar modalsementara sebagian yang lain menganggap bahwa
pasar modalhampir sama halnya dengan meja kasino atau judi.
Pasar modal lebih kental dengan nuansa spekulasi dan manipulasi
daripada nuansa analisa fundamental ekonomi dan keuangan.
Enterpereneur (Perusahaan)
Sementara
itu, Islam juga menetapkan prasyarat ketat dalam berinvestasi. Namun,
seorang investor muslim tidak begitu saja bisa berinvestasi pada
perusahaan-perusahaan yang sudah listed di lantai bursa. Hal ini bisa terjadi karena 2 (dua) hal; pertama,
karena faktor kualitatif yaitu bisnis utama (core
business) yang dijalankan oleh perusahaan dan kedua,
karena faktor kuantitatif yaitu pembiayaan atau struktur keuangan dari
sebuah perusahaan. Jadi ada dua tahapan seleksi yang harus dilalui oleh
sebuah perusahaan untuk dapat listed di lantai bursa.
Untuk
lolos pada seleksi tahap pertama, selain memproduksi komoditi dan
beraktivitas pada bidang yang halal maka ada beberapa kriteria produk
dan jasa serta aktivitas
yang harus dihindari oleh sebuah perusahaan :
1.
Makanan dan minuman, yang tidak halal, mengandung alkohol, babi
dan produk derivatnya, produk tembakau (rokok)
2.
Perjudian, seperti kasino dan taruhan di pacuan kuda
3.
Aktivitas illegal, seperti prostitusi dan obat-obatan berbahaya
4.
Aktivitas lainnya seperti lembaga keuangan konvensional (berbasis
bunga), day trading, margin
trading, derivatvies (options and futures), serta shorting
5.
Entertainment dan senjata
Dow Jones Islamic Index
(DJII), http://www.dowjones.com/corp/index_products.htm
(pp. 8-10).
Adapun
ketika aktivitas sebuah perusahaan bercampur dengan aktivitas non-halal
atau meragukan maka ada beberapa kriteria tambahan yang harus
diperhatikan :
1.
Aktivitas non-halal adalah aktivitas sampingan (side
activities)
2.
Aktivitas itu minimal
3.
Aktivitas itu tak dapat dihindari atau sangat sulit dihindari
4.
Khalayak meembutuhkan aktivitas yang halal dari perusahaan
tersebut karena
menguntungkan masyarakat secara keseluruhan
Setelah
proyek (perusahaan) lolos seleksi tahap pertama, lalu dilanjutkan dengan
seleksi tahap kedua. Seleksi tahap kedua, terkait dengan struktur
keuangan perusahaan. Saat
sekarang sangat sulit
sekali untuk mencari perusahaan yang mengandalkan pencapaian keuntungan
dengan upayanya sendiri dan selalu bergantung pada pembiayaan
(permodalan) sendiri (tidak pernah terkait dengan pinjaman
berbasis bunga). Oleh karena itu
untuk menyeleksi
perusahaan yang terkait dengan itu maka para pakar syari’ah menetapkan
beberapa aturan mengenai struktur keuangan perusahaan (Untuk lebih
detail lihat http://www.Muslim-Investor.com-Prohibited
Business Activities) :
1.
Debt to equity ratio ≤ 33 %.
Rasio utang dibandingkan dengan modal
maksimal 33 %
2.
Account receiveable to
total asset ≤ 47
%.
Rasio piutang dengan total asset maksimal 47
%.
Total
income from interest
≤
25 % (pendapat lain ≤
33,3 %). Sementara itu, total income from non-operating
interest
activities
≤
9 %.
Penutup
Untuk
menentukan jenis kontrak yang akan dipilih,
persoalannya tidak gampang bagi muslim. Sebab mereka sekurangnya
harus mengantongi dua persyaratan sekaligus, baru kontrak boleh
dijalankan. Syarat pertama,
tentulah kontrak harus memberikan jaminan pendapatan yang bagus, dan
yang kedua, tidak boleh tidak, kontrak tidak boleh melenceng dari pedoman
syariah. Konsep syariah mengajarkan menyangga usaha secara bersama, baik
dalam membagi keuntungan atau sebaliknya menanggung kerugian.
Anjuran
itu antara lain adalah transparansi dalam membuat kontrak (symmetric
information), penghargaan terhadap waktu, dan amanah. Bila ketiga syarat
tersebut dipenuhi, model transaksi yang terjadi bisa mencapai apa yang
disebut dimuka kontrak yang menghasilkan kualitas terbaik (the best solution). Oleh karenanya penciptaan
kesejahteraan seharusnya merupakan hasil dari kerjasama antara investor
dengan pengguna modal, di mana balas jasa dan resiko sama-sama dipikul.
Return dari investasi modal yang diperoleh seharusnya terkait dengan
profit yang diciptakan oleh modal daripada bunga yang telah ditetapkan
di awal; sehingga seorang muslim harus meyakinkan bahwa investasi yang
dilakukannya tidaklah bertentangan dengan pilar-pilar
keimanannya---kesimpulan filosofis ini haruslah di praktekkan dalam
proses pengumpulan kekayaan.
Penulis, Direktur Yayasan GARDA ERA dan Dosen pada Akademi Ekonomi Syari'ah Adzkia Padang.
0 komentar :
Posting Komentar