Davy Hendri
Dosen Jurusan Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol, Padang
KOMPAS, 27 Agustus 2007
Presiden
Yudhoyono telah menyampaikan pengantar nota keuangan negara RAPBN 2008,
di depan rapat paripurna DPR, 16 Agustus lalu. Asumsi
dan alokasi dasar penyusun RAPBN 2008 menunjukkan, pemerintah
berkomitmen menggunakan anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan
penanggulangan kemiskinan.
Bagaimanapun,
arah dan kebijakan RAPBN itu layak diapresiasi. Kebijakan infrastruktur
dan investasi harus menjadi bagian penting pengurangan kemiskinan pada
negara berkembang dengan ciri infrastruktur buruk. Terkait
penyediaan infrastruktur, Pemerintah Indonesia menghadapi beban ganda.
Di bidang listrik, beban berat ada di Pulau Jawa dan Bali, sementara
pulau-pulau besar di luar Jawa-Bali amat kekurangan listrik. Jalan raya
sudah terlalu padat, sementara jalan bebas hambatan baru disiapkan.
Proporsi penduduk yang bisa mengakses air bersih pun mengalami penurunan
akibat penutupan sejumlah fasilitas dan karena pertumbuhan penduduk
(World Bank, 2007).
Ketimpangan pemanfaatan
Dari
sisi kualitas, ketersediaan infrastruktur bukan berarti akan menurunkan
angka kemiskinan. Laporan Bank Dunia Reaching The Poor 2005
menyimpulkan, hampir tidak ada korelasi positif antara ketersediaan
infrastruktur (kuantitas) terhadap pengurangan tingkat kemiskinan.
Desain kebijakan infrastruktur yang salah kaprah tidak menghasilkan hal
berarti pada perbaikan kesejahteraan masyarakat miskin.
Isu
utama adalah ketimpangan pemanfaatan (utilization inequality)
infrastruktur. Berbagai infrastruktur social-based seperti sekolah,
jaringan air bersih, kesehatan, dan infrastruktur
commercial-based—infrastruktur yang dikelola BUMN dan berorientasi
bisnis—yang seharusnya dapat dimanfaatkan merata oleh seluruh
masyarakat, pemanfaatan terbesarnya dilakukan kelompok masyarakat yang
lebih baik karakteristik sosial-ekonominya.
Kajian
Pengeluaran Publik Indonesia 2007, yang dirilis World Bank Office
Jakarta memaparkan, akses terhadap air pipa amat terbatas di semua
provinsi di Indonesia. Tingkat akses air bersih masyarakat miskin adalah
paling rendah. Lebih dari 80 persen rumah tangga dalam kisaran 20
persen kelompok penghasilan terendah (kuintil rakyat paling miskin)
bergantung pada air sumur dan sumber air alami seperti air hujan, mata
air, dan sungai.
Pada
sektor kesehatan, terutama layanan kesehatan dasar dan sekunder
(primary and secondary health care), belum berpihak kepada penduduk
miskin meski secara netral didistribusikan di antara kuintil
pengeluaran. Berbagai studi menunjukkan, fasilitas dan layanan puskesmas
juga dimanfaatkan optimal masyarakat kaya (Davy dan Elfindri, 2007;
Elfindri, 1995).
Pengeluaran untuk layanan kesehatan sekunder jelas tidak memihak kaum miskin. Sebagian besar dinikmati penduduk kaya.
Celakanya,
layanan kesehatan publik yang paling banyak digunakan penduduk miskin
adalah infrastruktur dan layanan kesehatan dasar (primer). Tetapi,
pemerintah justru menggunakan 40 persen sumber daya untuk layanan
kesehatan publik, untuk subsidi regresif yang ditargetkan bagi rumah
sakit (layanan kesehatan sekunder) pemerintah.
Hambatan pemanfaatan
Apa
saja yang menyebabkan infrastruktur itu belum sepenuhnya mencapai
kelompok masyarakat termiskin? Beberapa hambatan dari pribadi masyarakat
(individual barriers) menjadi faktor penjelas. Meski jalan raya mulus,
mahalnya ongkos transpor menghambat masyarakat miskin untuk
menikmatinya. Sementara itu, dalam survei rumah tangga yang tidak
memiliki sambungan listrik, 87 persen menyebutkan mahalnya sambungan
merupakan alasan utama, hanya 4 persen mengeluhkan biaya bulanan yang
mahal.
Meski
hambatan individual itu bisa dihilangkan dan masyarakat bersedia
memanfaatkan infrastruktur serta layanan publik, buruknya kualitas
layanan—seperti layanan yang kurang ramah—sering menjadi masalah
tersendiri (service barriers). Ini amat terasa dalam pemanfaatan
fasilitas dan layanan publik social-based, seperti pendidikan dan
kesehatan.
Meski
biaya pelayanan kesehatan amat murah atau gratis, ketidaktepatan
diagnosa dan treatment pengobatan membuat orang miskin tidak percaya
dengan kualitas obat yang diresepkan dokter puskesmas.
Kebijakan "pro-poor"
Karena
itu, kebijakan infrastruktur pro-poor harus menjamin dua hal pokok,
yaitu ketermanfaatan dan keberlangsungan secara merata. Untuk menjamin
tingginya pemanfaatan infrastruktur dan layanan social based, perbaikan
kualitas layanan dan SDM mutlak diprioritaskan. Terkait
infrastruktur commercial-based, pemerintah harus menyusun kebijakan
insentif bagi penyedia, agar bersedia menurunkan service charge bagi
lapisan miskin, dengan jaminan tidak ada mark-up dan KKN. Selain itu,
pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur pendidikan harus terjamin
keberlangsungannya.
Kita
berharap fokus pembangunan RAPBN 2008 pada infrastruktur fisik
(hard-infrastructure) yang dikuti upaya perbaikan
soft-infrastructure—aturan main, tata kelola yang baik (good
governance)—dapat berdampak maksimal. Yaitu, sebuah korelasi positif dan
signifikan antara kucuran dana triliunan rupiah bagi pembangunan
berbagai infrastruktur dan penurunan tingkat kemiskinan masyarakat
termiskin. Bukankah itu yang menjadi salah satu tujuan kemerdekaan
negeri ini?
0 komentar :
Posting Komentar