HARGA tanah di kota Jabodetabek secara
umum mengalami kenaikan luar biasa dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial yang dirilis BI, secara
tahunan harga tanah di Jakarta rata-rata mengalami peningkatan 19,01
persen pada kuartal II-2013.
Sementara untuk perumahan, kenaikan
harga properti residensial di pasar primer selama periode kuartal
II-2013 adalah 1,93 persen per kuartal atau secara tahunan sebesar 12,62
persen. Jika didetailkan lagi, di beberapa lokasi ”emas” dan tipe
perumahan segmen atas di DKI Jakarta mengalami kenaikan paling besar,
bahkan sampai melebihi 20 persen per tahun.
Lebih luar biasa lagi, permintaannya
tidak pernah mati. Setiap peluncuran stok perumahan primer selalu habis
diserbu pembeli. Bahkan baru sebatas patokan atau model rumah sudah
dipesan sejak jauh hari. Hal itu tak hanya berlaku untuk rumah primer
(baru), tetapi juga rumah sekunder (seken).
Sebagai perbandingan, pada periode yang
sama harga properti residensial di pasar sekunder DKI Jakarta meningkat
3,63 persen per kuartal atau 17,45 persen pada periode yang sama. Dalam
mekanisme pasar perumahan yang disediakan oleh pihak pengembang swasta,
di kota mana pun berlaku adagium ”ada barang ada uang”.
Terjadilah pertarungan tak imbang yang
abadi dalam memperebutkan ruang. Di satu sisi, fenomena kenaikan harga
tanah dan bangunan di pusat kota tadi menjadi indikator dari gap yang
makin membesar antara permintaan dan penawaran dari perumahan
terjangkau.
Di sisi lain ada fakta bahwa penyediaan
rumah sistem kontrak menyusut. Di daerah perkotaan Jawa Barat, jika pada
tahun 2010 rasio rumah yang dikontrak para warganya mencapai 12,29
persen (SP 2010, BPS), tahun 2012 hanya tinggal 5,89 persen (data diolah
Susenas 2012, BPS).
Penyusutan ini berarti beralih fungsinya
rumah tadi menjadi perkantoran atau mal dengan cara sewa/beli atau juga
rumah kontrak tadi telah menjadi milik rumah tangga yang relatif lebih
mampu. Tidak usah heran bahwa banyak rumah tangga kaya yang memiliki dua
atau tiga rumah di perkotaan yang sama untuk berbagai tujuan.
Oleh karena itu, seiring pertumbuhan
permintaan, harga lahan dan perumahan (hak milik) di daerah Bodetabek
dan Banten juga mengalami kenaikan signifikan rata-rata 20-30 persen per
tahun (Indonesia Property Watch, 2013). Mekanisme serupa pasti akan
berulang dalam jangka waktu tertentu, bergantung pada ukuran dan
kepesatan pembangunan suburban.
Masalahnya adalah sangat banyak rumah
tangga pekerja kota yang tidak punya pilihan serupa karena keterbatasan
anggaran. Secara implisit hal ini mencerminkan kegagalan pemerintah
dalam satu hal krusial, yaitu kebijakan pengelolaan ruang untuk
perumahan (housing policy).
Data BPS yang dirilis Kementerian
Perumahan Rakyat juga memprediksi peningkatan kebutuhan rumah yang belum
terpenuhi atau backlog di dalam negeri, pada tahun lalu, meningkat
hingga 21,7 juta. Jumlah tersebut meningkat 60 persen
dibandingkan dengan backlog perumahan pada 2010 yang berjumlah 13,6 juta
unit dan melonjak sekitar 45 persen dibandingkan dengan 2012 yang
mencapai 15 juta unit.
Kebijakan perumahan
Di satu sisi, mereka yang ”sensitif”
harga perumahan dengan terpaksa tinggal di daerah perumahan di tengah
kota dengan kualitas yang lebih buruk. Laju urbanisasi tak terkontrol
dan paceklik perumahan berdampak negatif dalam bentuk berbagai
permasalahan sosial.
Di sisi lain, ketika pemerintah kota
harus membutuhkan dan harus menyediakan ruang (lahan) untuk berbagai
kepentingan sosial dan mendesak lainnya, mereka juga harus menebusnya
dengan harga pasar yang sudah tentu mahal pula.
Dengan kenaikan tinggi itu, tidak
mungkin dibangun rumah bersubsidi atau dengan harga terjangkau.
Akibatnya, lokasi rumah bersubsidi menjadi berada di pinggiran kota
sehingga berdampak pada biaya hidup penghuninya, yang kita tahu
merupakan masyarakat berpenghasilan rendah.
Kloplah permasalahannya. Secara umum,
Jabodetabek saat ini darurat lahan dan perumahan terjangkau bagi
masyarakat berpenghasilan rendah. Di titik ini, urgensi housing policy
yang bijak (harmonis, adil, dan mengayomi semua lapisan warga) dapat
dimulai dari pencadangan ruang (lahan) oleh pemerintah pusat dan daerah.
Beberapa inisiatif gebrakan awal dalam
skala terbatas sudah dimulai oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di
bawah komando Gubernur Jokowi dengan program rusunawa, rusunami, dan
kampung deret. Namun, tentu itu saja tidaklah cukup guna menutupi
kebutuhan perumahan layak terjangkau bagi penduduk Jakarta, yang sampai
saat ini belum memiliki rumah sendiri (kontrak dan sewa).
Pemerintah seharusnya mulai
merealisasikan amanat UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman, khususnya Bab IX Pasal 105 tentang penyediaan tanah. Secara
implisit pasal ini mengukuhkan urgensi eksistensi Bank Tanah sebagai
alternatif kebijakan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum, sekaligus sebagai pengendali harga tanah.
Satu hal yang harus diingat, rumah dan
permukiman bukan sekadar tempat tinggal buat berteduh ketika terik
matahari dan dinginnya hujan. Kebijakan perumahan yang bijak melalui
eksistensi Bank Tanah juga dapat didesain guna meringankan tekanan biaya
hidup para pekerja melalui penyediaan perumahan bagi mereka.
Pada gilirannya, sengketa abadi antara
buruh dan pengusaha dalam penetapan upah dapat berkurang sehingga
industrialisasi sebagai wajah perkotaan dapat berjalan lebih produktif.
Oleh karena itu, kita berharap kiranya kepentingan berbagai multisektor
dan aktor dapat dipertemukan. Ibarat kata pepatah: ”sekali merengkuh
dayung, dua-tiga pulau terlampaui”.
0 komentar :
Posting Komentar