Davy Hendri
Dosen Jurusan Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol,
Padang
KOMPAS, 30 Juli 2007
Salah satu konsensus dunia dalam bidang
pendidikan adalah menjamin 100 persen anak bisa menyelesaikan pendidikan
dasarnya selambat- lambatnya tahun 2015 (MDGs 2015).
Terkait pendidikan dasar, gerakan Education
For All (EFA) juga bertujuan meningkatkan keadilan mendapat pendidikan bagi anak
perempuan, kelompok yang kurang beruntung, dan peningkatan kualitas hasil
pendidikan.
Independent Evaluation Group (IEG), sebuah
lembaga penelitian di bawah Bank Dunia, menjadikan tema kualitas hasil
pendidikan dasar ini sebagai isu utama, dalam laporan From Schooling Access to
Learning Outcomes: An Unfinished Agenda, 2006. Penekanan terhadap kualitas hasil
pendidikan dasar dimunculkan sebagai isu utama dalam arahan pembangunan
pendidikan dasar dunia ke depan. Sebab, perolehan keterampilan dan pengetahuan
dasar seperti membaca dan berhitung sesuai standar merupakan aset berharga untuk
membebaskan individu dari jeratan lingkaran kemiskinan yang tak berkesudahan.
Dilema kebijakan
Dalam konteks Indonesia, krisis ekonomi
tahun 1997 menurunkan capaian angka partisipasi murni pendidikan dasar terutama
pada keluarga miskin pedesaan, yang pada tahun 1988 mencapai 99,6 persen (BPS,
1988). Pemerintah lalu mengintervensi sisi suplai dengan membangun gedung-gedung
sekolah baru yang berlokasi dekat permukiman penduduk, sekolah dua shift, dan
program guru kontrak.
Adapun intervensi sisi demand dilakukan
melalui program pengurangan biaya sekolah, beasiswa, dan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Dalam APBN 2007, jumlah anggaran pendidikan untuk semua program
mencapai Rp 90,01 triliun (sekitar 11,8 persen), masih jauh dari amanat UUD 1945
Amandemen, yaitu 20 persen dari APBN.
Meski program JPS-Bidang Pendidikan berperan
besar memulihkan tingkat daftaran SD, krisis yang belum sepenuhnya pulih
menyisakan sejumlah angka putus SD. Penelitian terkini menyebutkan, meski salah
satu alasan utama tidak bersekolahnya anak-anak usia pendidikan dasar adalah
jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor kemiskinan rumah tangga tetap menjadi
kontributor utama (Elfindri dan Davy, 2006).
Jangan lupa, program EFA juga mengamanatkan
perbaikan kualitas output pendidikan (outcome learning), terutama bagi anak-
anak keluarga miskin. Rendahnya kualitas pendidikan menjadi akar masalah
rendahnya kualitas hasil pendidikan. Gaung pemantauan kualitas pendidikan dasar
jarang diperdengarkan Pemerintah Indonesia.
Program subsidi bertarget cukup memberi
kontribusi positif kepada perbaikan kualitas hasil belajar anak-anak dari
kelompok warga miskin dan mengurangi gap anak miskin dengan anak- anak kelompok
warga lainnya.
Selain itu, perbaikan manajemen
sekolah, introduksi program peningkatan kualitas guru dan monitoring evaluasi
hasil pembelajarankepada pimpinan sekolah juga menjadi syarat keberhasilan
program. Pengawasan yang lebih ketat terhadap kemajuan hasil belajar siswa per
grup karakteristik sosial ekonomi juga akan menjadi poin penting program.
Relasi komplementer
Sebenarnya, relasi kuantitas-kualitas, yang
selama ini diterima sebagai relasi substitusi, dapat diubah menjadi relasi yang
bersifat komplementer. Peningkatan kualitas yang menjadi program
berkesinambungan dan memakan waktu tetap mengharuskan siswa hadir di sekolah.
Program monitoring pembelajaran tidak akan bisa berjalan, apalagi mencapai
hasil, jika siswa tiba-tiba drop-out. Syarat utama kualitas siswa akan meningkat
jika siswa hadir rutin di sekolah.
Selanjutnya, hukum demand akan berlaku
dengan sendirinya. Saat standar kualitas telah tercapai, dengan sendirinya
diharapkan kuantitas akan terjaga. Hal inilah yang menjadi faktor penjelas,
mengapa sekolah swasta favorit tidak pernah sepi peminat. Bahkan pada beberapa
kasus, orangtua kaya kini harus mengantre untuk mendaftarkan anak yang masuk SD,
2-3 tahun ke depan. Hal sebaliknya, banyak orangtua kurang beruntung.
Adagiumnya, anak mereka sekolah atau tidak, setelah itu nasib mereka tidak
berubah.
0 komentar :
Posting Komentar